Rabu, 17 Desember 2014

Dua Dilema Mahasiswa

Sering mahasiswa dihadapkan pada dua pilihan: organisasi atau akademik. Keduanya dibayang-bayangi oleh selembar transkrip: CV atau IP. Jika fokus di salah satunya, yang kedua akan terabaikan, terbengkalai. Pemilihan arah fokus pun harus dipikir matang-matang. Apa manfaatnya? Apa pengorbanannya? Apa umpan baliknya? Baik. Ketiganya memiliki konsekuensi dan kadar masing-masing. Sudut pandang setiap orang pun mengupas dari sisi yang berbeda-beda.
Sebenarnya apapun pilihannya, kedua pilihan ini sama-sama menyedot perhatian lebih. Karena terlalu banyak jadwal dan hal-hal yang harus dikejar, kemampuan manajemen waktu dan penempatan skala prioritas menjadi kebutuhan mendesak. Waktu yang ada selalu tersedot. Yang dulunya ada waktu untuk menghabiskan 3 jam minum kopi, kini harus menenggak secangkir kopi untuk bertahan 3 jam di waktu malam. Konsentrasi pun begitu. Terkadang ada hal-hal yang sengaja maupun tidak harus skip dari prioritas. Dipandang sinis teman akrab yang berbeda orientasi pun menjadi hal biasa. Dianggap sombong karena sudah jarang untuk bergabung bersama-sama.
Tapi, kembali ke awal. Semua memiliki tujuan, kan?
Apapun pilihannya, semua adalah pilihan baik jika dilandasi dengan niat yang baik. Mengejar IP agar diterima di perusahaan yang menjadi target sasaran dakwah, agar bisa menempati posisi strategis instansi pemegang kebijakan demi mencegah terjadinya mudhorot bagi ummat, itu niat baik. Sibuk organisasi supaya dakwah bisa meluas di kalangan manapun, supaya nilai Islam tetap merasuk ke kegiatan-kegiatan kampus, juga merupakan niat baik. Tidak ada yang salah.
Lalu, apa yang dipermasalahkan?
Yang dipermasalahkan adalah apa yang ada di dalam niat tersebut. Apakah ada Allah? Apakah ada niatan lain semisal predikat “mahasiswa pinter, kece, keren dengan segala prestasi di segala kesibukan”? Apakah teringat surga dan neraka yang menjadi balasan akhir apa yang kita lakukan, termasuk pilihan mengejar akademis dan atau organisasi?
 Ya, apakah ada Allah di lubuk terdalam niat kita. Tingkatan pertama status manusia yang telah bersyahadat adalah muslim. Penanda bahwa kita layak disebut muslim adalah ketika kita telah melaksanakan rukun Islam. Apa hanya itu? Tidak. Muslim adalah julukan bagi orang yang berserah diri, yang hanya ditujukan pada Allah. Bukan berarti tidak berusaha lalu menyerahkan segalanya pada-Nya dengan harapan Dia yang menyelesaikan semuanya. Pasrah di sini lebih kepada memasrahkan segala upaya kita untuk dinilai dan diberi hasil yang terbaik menurut-Nya. Meski mungkin bagi kita tidak sebanding, asalkan itu adalah keputusan Allah, itulah yang terbaik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa poin penting atas kedua hal yang menjadi dilema di atas adalah menjadi ilmuwan atau saintis dan atau organisatoris dengan tidak melupakan identitas diri sebagai muslim. Semoga penulis dan pembaca sama-sama diberi kemudahan untuk berjuang di jalan Allah baik melalui akademik maupun organisasi. Aamiin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar