Jumat, 17 Oktober 2014

Mahasiswa Berprestasi dan Organisatoris

Mahasiswa identik dengan kegiatan menuntut ilmu disertai dengan berorganisasi. Di antara keduanya, mana yang lebih penting? Keduanya sama-sama penting. Dengan menuntut ilmu, kita akan paham bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan secara lebih baik. Agar dalam melakukan suatu hal kita tidak asal mengerjakan. Dengan ilmu, menghadapi kehidupan bisa dilakukan dengan lebih mudah dan efektif. Melalui kegiatan berorganisasi, kita akan mengerti bagaimana menghadapi masyarakat dan bekerjasama dengan orang lain. Lalu, jika semua mahasiswa dapat dipastikan melakukan kedua hal itu, apa yang membedakan satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya? Jawabannya tak lain adalah prestasi dan kontribusi lebih.
            Prestasi. Dengan mendengar kata itu, yang ada di benak orang-orang adalah sederet piala, piagam, medali, dan sertifikat. Di dunia kampus, yang terkenal adalah gelar mahasiswa berprestasi. Yang membuat gelar itu istimewa, dengan gelar tersebut mahasiswa menjadi lebih mudah didengar. Dengan begitu, aspirasi yang terpendam bisa dihargai, diterima, lalu dipraktikkan. Untuk meraihnya, dibutuhkan kerja keras yaitu meraih IPK tinggi. Namun IPK tinggi tidak akan semudah itu mengantarkan mahasiswa meraih predikat berprestasi jika tidak diiringi dengan sederet keikutsertaan dalam organisasi. Dalam kata lain, gelar ini hanya ditujukan pada aktivis yang membanggakan di segi akademis maupun organisasi.
             Kedua hal ini sangat menunjang kehidupan mahasiswa sebagai manusia dewasa nanti. Namun diakui memang untuk menyeimbangkan keduanya perlu pengaturan waktu yang sangat hebat. Jika tidak, maka yang satu akan menjadi koban yang lainnya. Mementingkan aksi dan kontribusi pada organisasi, bisa membuat IP hancur. Terlalu focus mengejar IP pun akan membuat soft skill tidak terasah karena tidak dikembangkan pada organisasi. Jadi, pada intinya adalah penguasaan waktu. Jika mahasiswa yang dikuasai waktu, hancur lah hidupnya. Semua akan terburu dengan deadline. Satu tugas akan tertumpuk dengan tugas-tugas lainnya. Ujungnya, hanya sedikit yang selesai dan lebih banyak yang terbengkalai atau tidak maksimal.
            Berorganisasi boleh, asalkan yang dipilih sesuai dengan minat dan kemampuan mahasiswa. Kemampuan di sini tidak hanya intelektual dan bakat tetapi juga kondisi fisik. Bagi mereka yang berbadan lebih ringkih dibandingkan kawan seumurannya, akan lebih baik baginya untuk memilih organisasi yang tidak mengharuskan pertemuan dengan frekuensi yang sering karena itu akan menguras tenaga. Ditakutkan, sakit yang akan datang dan membuat semua pekerjaan lebih tidak tersentuh.
            Tidak dapat dipungkiri, meski berusaha menyeimbangkan keduanya, pasti akan ada kecenderungan terhadap salah satunya. Pada intinya, apapun pilihannya, yang dibutuhkan adalah keikhlasan dari hati, menyukai apa yang dikerjakan dengan hati. Jika itu sudah dilakukan, dapat dipastikan hasilnya lebih maksimal. Keduanya sama-sama bisa menjadikan mahasiswa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tinggal seluas dan sebanyak apa yang bisa mahasiswa sumbangkan bagi masyarakat dengan apapun pilihan yang dia ambil saat kuliah.

Bukan Sekadar "Magang" di Kastrat

Ketika seseorang berbicara magang, yang terbayang adalah pekerjaan yang dilakukan tanpa gaji, hanya sebuah persyaratan untuk lolos ujian tertentu. Bila konteks magang yang dimaksud adalah keikutsertaan dalam sebuah organisasi kampus, yang diimajinasikan adalah berorganisasi tanpa jabatan dan hanya sebagai latihan untuk berorganisasi yang sesungguhnya. Pada intinya, magang sering diartikan sebagai “mencoba” sebuah pekerjaan sesuai kondisi aslinya. Mungkin bagi sebagian teman-teman saya definisi kedua adalah benar. Mereka hanya mencoba dan mencari tahu lebih lanjut apa yang dilakukan mereka yang ada di dalam organisasi. Setelah itu, sudah. Selesai. Meski tak dapat dipungkiri juga yang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan magang berjumlah banyak.
Bagiku, magang bukanlah “pura-pura”. Inilah titik awal perjuangan yang akan dimulai. Ibarat perang, magang adalah persiapan senjata, pengenalan medan, penguasaan kelebihan dan kekurangan diri sendiri maupun musuh, sampai penyiasatan strategi. Pada hari H ketika status magang dilepas dan diganti dengan jabatan yang sesungguhnya, di saat yang sama itulah perang dimulai. Maka dapat dipastikan, mereka yang mempersiapkan dengan baik akan lebih siap dan terlatih menghadapi kondisi perang. Sama seperti perang, dalam organisasi juga mengandung banyak musuh yang mewakili berbagai permasalahan baik internal maupun eksternal. Inilah yang harus dihadapi dan dilawan.
Sebagai mahasiswa baru Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, saya diwajibkan magang di organisasi tingkat fakultas. Dari sekian banyak organisasi dan kelembagaan yang tersedia, saya memilih BEM. Sesungguhnya yang saya pilih bukan BEM-nya, melainkan salah satu departemennya, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat). Alasannya banyak. Diawali dari sebuah hadits Nabi yang menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya, kemudian melihat kemampuan berbicara dan menulis yang saya miliki, adanya keinginan untuk bergerak karena bosan berdiam dan menunggu perubahan yang dilakukan orang lain. Selain itu, proses yang secara tidak langsung memaksa saya untuk lebih disiplin.
Jika teman-teman non Kastrat memandang Kastrat sebagai seonggok status yang “wow”, saya sebagai anggota magangers Kastrat biasa saja. Kami sama seperti lainnya, sama-sama bertugas mencapai visi-misi dan tujuan adanya organisasi tersebut. Selain dianggap eksklusif, Kastrat juga dianggap paling serius. Tidak akan ada namanya bercanda atau main-main. Namun pada kenyataannya, di dalam rapat atau pertemuan Kastrat BEM diadakan sesi berbagi kabar dan segala isu maupun informasi baik internal individu maupun eksternal rakyat dan bangsa Indonesia. Di antara magangers dan anggota Kastrat sendiri pun tidak ada kesenjangan senior-junior, yang ada adalah kakak-adik yang sejak awal sama-sama sadar bahwa kami adalah keluarga yang bersama-sama memperjuangkan hak-hak rakyat.
Kastrat memang identik dengan permasalahan bangsa dan demo. Memang kami membahas beberapa isu panas seperti pelantikan presiden RI baru, RUU Pertembakauan, kenaikan BBM, aksesi FCTC, dan biaya pendidikan Universitas Indonesia sendiri, tetapi yang kami lakukan bukan hanya mengkaji. Lalu yang menjadi implementasi dari kajian yang dilakukan bukan hanya demo. Yang kami lakukan adalah aksi. Demo adalah pilihan terakhir ketika semua jalan sudah menolak tuntutan kami. Aksi bisa dalam bentuk negosiasi, penulisan artikel atau jurnal atau media massa yang bisa membentuk atau merubah opini publik, bahkan minimal membuat status di media sosial akan pemberitaan aspirasi rakyat.
Jangan berbicara rakyat jika diri sendiri belum terurus! Banyak ungkapan-ungkapan yang semisal larangan ini. Namun percayalah, saya tidak akan pernah sempurna dalam memperbaiki sendiri. Oleh karenanya, biarkan saya memperbaiki diri sekaligus berusaha mengusahakan perbaikan negeri dengan mengikuti krida dan apel pukul 06.00 pagi seminggu sekali. Bukan untuk menggugurkan kewajiban, melainkan pembentukan kebiasaan dan karakter baik yang selalu dimulai dari pemaksaan keluar dari zona nyaman masing-masing. Inilah yang kami bahas pada krida dan apel pertama magangers Kastrat BEM FKM UI. Inilah yang akan kami dan terutama saya sendiri terapkan mulai hari ini.
Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!