Sabtu, 27 Desember 2014

Keluarga

Keluarga

Ada Ibu, Ayah, Kakak, dan atau Adik.

3 sebutan di atas untuk pengisi keluarga inti, berapapun anggotanya.

Apa fungsi mereka?

Tempat menanam dan menumbuhkan kebaikan. Membentuk pondasi. Sehingga kelak jika harus pergi, ada sebuah kewajiban untuk kembali. Kembali untuk merapihkan dan merekonstruksi pondasi yang mungkin tergerus arus dunia. Yang mungkin tak lagi sekuat kala sebelum ia pergi. Kala pondasi kebaikan masih mudah dirawat dan ditata tanpa gangguan.

Benar. Kita tidak bisa hidup tanpa landasan, tanpa tempat.

Allah memang menyuruh kita untuk bersandar kepada-Nya. Dan keluarga adalah salah satu medianya.

Jika engkau lelah, pulanglah.

Ada senyum yang tak akan terhenti,
ada kehangatan yang tidak pernah terkikis,
dan pasti ada ketenangan yang tidak tertepis..

Bukan dari apa, melainkan siapa.

Iya, keluarga.

Merasa tidak cocok?

Ah itu hanya masalah waktu. Ada saat-saat tertentu di mana sebuah "tempat" tidak memberi seperti kapasitas porsi biasa. Dia juga suatu hal yang sama-sama perlu pembenahan. Caranya ya dengan ketidakcocokan tadi,yang membuat solusi menjadi tujuan berharga yang harus dicapai bersama, dengan kita turut serta di dalamnya.

Ini yang membentuk keterikatan. Sebuah tempat bernama keluarga, memang tidak akan sempurna. Itulah mengapa ia dibentuk dari berbagai karakter, disatukan dengan darah. Agar kebersamaannya saling ada, berkait, bergantung, dan membentuk kesempurnaan. Meski selamanya tak akan ada yang bisa sesempurna Pencipta.

Yah setidaknya. Menjadi sebuah bagian dari keluarga itu penting. Jadi, seberapa jauh dan berapa pun lama jiwa memisah, pasti akan rindu untuk kembali. Ke tempat asal, di mana hidup ditakdirkan untuk memulai. Pergi untuk kembali dan memulai kepergian yang baru lagi.

Keluarga adalah tempat pulang terbaik. Asal tidak ke keluarga untuk pulang (means: menjadi tempat singgah), namun pulang untuk (re: demi) keluarga.


Yang Didengar, Yang Dihafal

Cerita malam ini
Aku sedang memulai langkah awal terwujudnya mimpi bersama yg terucap kala TEBBAL part 1. Samar terdengar murottal. Lebih samar lagi terdengar orang mengucap sama dengan yang terputar. Iseng, aku bertanya ke sumber suara,
Hafalannya berapa?
Sang sumber suara menjawab,
"Ah jangan ditanya. Ga banyak. Saya bisa ngikuti karena sering denger. Kalo spelling dari awal sampai akhir tidak bisa."
Masya Allah
Masih ada pemuda yg menjadikan murottal sebagai pengiring kerja favorit. Sedangkan aku?
Masya Allah
Hanya dengan sering mendengar, Al-Qur’an mudah menancap di ingatan dan hati orang. Bila ditambah serius menghafal dan mengulang, pasti akan cemerlang.
Namun jika yg sering didengar bukan murottal lalu dihafal dan diulang? Apa jadinya?
Astaghfirullah

Engkaulah Keluarga, di Samping yang Sesunnguhnya

Jika aku boleh berkata,
Maka sejujurnya aku bukan orang yg dekat dgn keluarga.
Tidak jarang bingung tentang apa fungsi mereka.
Sering iri dgn mereka yg bisa menyatu dgn darahnya.
Kalau pun ada kesempatan,
quality time pun susah didapat feelnya.
Entah sebab apa.
Seiring berkurangnya usia,
Tergeraklah untuk membangun seperti sedia.
Mungkin terlambat.
Ah setidaknya aku bisa bercerita.
Kemudian mendengar petuahnya.
Dan kini,
Aku diherankan dgn adanya sebuah rasa.
Sebuah rindu.
Seonggok kangen yg menonjok dada dan seakan berkata,
"Woy kamu selama ini ngapain aja?"
Kemudian,
Hp dipegang, ingin bertanya,
"Apa kabar? Di rumah ada kejadian apa?"
Tapi,
Sebuah kecanggungan,
Ditambah sedikit keegoisan,
Mungkin tersempil juga kegengsian,
Muncul karena terbiasa.
Ah aku kenapa?
Mau sampai kapan?
Demikian sebuah kosong di luar isi yg aku tumpahkan.
Terima kasih telah memberiku jawaban tentang apa yg disebut keluarga,
Menemukan makna “keluarga” sesungguhnya,
Bahkan mengetahui arti kalian sebagai keluarga :)
Sejatinya,
Keluarga adalah tempat pulang.
Tempat kau mendapat makna kehidupan.

Bersyukurlah engkau tidak terlambat mengetahuinya,
Doakan aku bisa membangun kehangatan keluarga yg sama :)
Di sisa gerimis depok, 27.12.14
Pasca TEBBAL part 1

Gadis Penunggu Hujan

mengapa hujan ditunggu?
karena hujan adalah rahmat dari-Nya. tanda bahwa Dia sedang berbaik hati mengabulkan segala permintaan hamba-Nya. simbol disebarkannya rizqi bagi setiap yang bernyawa. ketika rahmat disebar, timbullah kebahagiaan.

seringkah kita perhatikan apa yang hati kita rasakan sepanjang turunnya hujan?
jika kebahagiaan itu belum terasa,
mungkin karena kita sedang mengharapkan sesuatu yang dengan hujan hal itu sulit kita raih, misalnya bepergian atau menghadiri suatu acara.
namun, di samping segala pikiran yang menerpa,
di suatu lapis hati kita, tersemayam rasa damai. damai di sini berarti tenang, seakan tidak mengkhawatirkan apa-apa.
sering kita merancukan pikiran dengan hati.
memang hati mempengaruhi pikiran. tapi pikiran bisa membuat apa yang dirasakan hati menjadi samar, tak nampak. 
begitupun kala hujan.
ketika kita sebal karena gagalnya melakukan berbagai hal dan timbulnya bencana akibat curah tak tertahankannya, itu murni karena pikiran kita.
tiap bunyi jatuhnya tetes bahkan guyuran air hujan tetap memberikan efek ketenangan dan menjernihkan pikiran. asal kita mau sejenak membiarkan pikiran dan hati sama-sama diam meresapi sensasi yang dibawa hujan.
jadi, aku menunggu hujan.
menunggu agar bisa seperti hujan yang menebar manfaat. meski dalam porsi parah dan wadah tidak terarah aku berpotensi membawa bahaya, setidaknya pengolahan yang tepat bisa mengontrol tidak terjadinya bencana. kurang lebih kehadiranku dirindukan ketika kehidupan mengering, ditunggu saat aku menjadi perantara pertolongan dan rizqi dari Allah, dan dinantikan kehadirannya untuk menenangkan.
menunggu bukan berarti diam. namun bergerak mewujudkan itu semua tanpa berkomentar dan keluhan macam-macam.
hujan memang tidak sesempurna yang diinginkan. datang tidak selalu tepat di saat dibutuhkan. tapi setidaknya, aku bisa seperti hujan yang keberadaannya melestarikan kehidupan :)

Ketika Kamera Menangkap Sudut


Lautan Ungu Demi KeJAYAan Ungu


A Little Palestina's Blood Smile 




Ada Warna Antara Hitam dan Putih


Downstairs


Who's Siluet?


Sisi Lain Danau UI


Hijau Di Tengah Panas Jakarta


Mungkin bagi orang ini jepretan biasa. Tidak berseni, tidak bermakna.
Tapi bagiku, lihatlah dari sudut pandang berbeda. 

Mayoritas gambar di atas diambil secara tidak sengaja. Menyalakan kamera, lalu ambil. Setelah dilihat, -menurutku- alhamdulillah bagus. 

Sama seperti kehidupan.

Kadang makna dari setiap kejadian, atau mungkin hal sesimpel benda-benda di sekitar kita, muncul tiba-tiba tanpa harus kita berpikir dia bermakna atau tidak. Hikmah pun demikian. Terkadang tanpa mencari dan berpikir mendalam ia hadir. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Maukah kita menerimanya dan mengamalkannya? Semua itu didasarkan pada hati. Kembali lagi ke hati. Maukah hati kita merendah menerima segala pemberian-Nya melalui hal-hal yang mungkin menurut sebagian orang remeh? Karena hasil dari jepretan sudut pandang hati dan pikiran bisa menghasilkan karya amal yang indah, asal mau merenung dan meresapi karunia-Nya :)

Jumat, 26 Desember 2014

10 Tahun Tsunami Aceh, di Mata Saksi Hidupnya Sendiri

*Kumpulan tweet dari Kessa Ikhwanda Thamrin, mahasiswa FKM UI 2014, yang menjadi saksi hidup Tsunami Aceh 10 tahun lalu, dikumpulkan dari akun @KessaIkh_Ofc*
Hari ini adalah peringatan ‪#‎10thnTsunami‬ yang melanda Aceh, tepatnya tanggal 26 Desember 2004 lalu. Sebuah tragedi yang menjadi sejarah
Agak sulit utk mengingat kembali 10 tahun lalu, tapi ketika itu dipertanyakan rasanya sejarah harus kembali diceritakan #10thnTsunami
Bismillah, 26 Desember 2004 #10thnTsunami | 10 Tahun yang lalu..... saya masih kelas 3 SD | Waktu itu fajar begitu indah nan menawan
Masih teringat jelas ketika wajah menggoreskan kebahagiaan, lewat senyum dan tawa berkumpul bersama keluarga tercinta #10thnTsunami
Pukul 7 pagi, seorang pria datang ke rumah, sudah menjadi tanggungjawabnya utk membawa surat dari pelabuhan dan sebaliknya #10thnTsunami
Kehadirannya selalu memberikan warna dan cerita yang berbeda, lewat berbagai barang yang selalu dihadiahkannya #10thnTsunami
Kata terakhir yg terucap dari lisannya “Saya akan ke pelabuhan dan kembali lagi” | Tp hingga kini tak ada lgi kabar.... #10thnTsunami
Tak tau dgn apa harus membalas jasa, semoga doa dpt menempatkan beliau selalu disinggasana terbaik dlm lindungan-Nya #10thnTsunami
7.30 | Niat awal ingin ke pantai, menerpa laut di bawah mentari. Tapi tak kunjung pergi karena suatu hal #10thnTsunami
Ada satu saat dimana semua tiba-tiba hening, tanpa ada satupun suara yang berani unjuk diri.... hening dlm keheningan #10thnTsunami
Sesaat kemudian bumi bergoncang kuat, hingga tak tau harus kemana diri menepi | Pohon dan bangunan roboh seketika #10thnTsunami
Masih teringat wajah yg meminta tolong dibalik reruntuhan, begitu banyak, sampai tidak tau harus bagaimana #10thnTsunami
Bumi bergetar, tanah tak lagi diam, benda-benda sekeliling seolah berontak, benar-benar kepanikan yg tak tau arah #10thnTsunami
Sesaat semuanya berhenti, kami coba menenangkan diri, coba utk saling peduli... tapi ada hal lain yg blm kami ketahui #10thnTsunami
Terdengar suara ledakan yg amat keras seolah gemuruh pertanda perang dimulai, disusul dgn teriakan seorang wanita... #10thnTsunami
Ie Laot ka LUAP!!....., teriaknya dgn kencang sambil berlari pontang-panting diikuti dengan jerit-tangis orang lain #10thnTsunami
KIAMAT!!! Itu kata yg terucap, beriring dengan doa dan takbir | Begitu banyak air mata yg bercucuran saat itu..... #10thnTsunami
Tangisan seorang ibu memeluk anaknya, seorang bapak mencium kening putranya, bahkn seorang pria yg berlari tanpa arah #10thnTsunami
Dari atas jembatan saya melihat arus sungai dengan derasnya, berubah arah, behkan berubah warna menjadi hitam pekat #10thnTsunami
Banyak sekali material bangunan yg tergerus, bangkai hewan yg seolah hangus, bahkan korban manusia yg terbawa arus #10thnTsunami
Sampai sekarang masih terdengung di telinga ketika suara minta tolong dari orang-orang yg hanyut dan tenggelam… #10thnTsunami
Niat hati ingin menolong, tp apa daya diri tak mampu, ketika raga ini masih takut utk berbuat dan diam menjd pilihan #10thnTsunami
Kami sekeluarga lari mengungsi, sepanjag itu banyak terjd kepanikan dan minta tlg, tapi saling menguatkan dgn doa #10thnTsunami
Di pengungsian hanya bisa berdoa, apa yg tadinya terlihat perlahan menjadi trauma, apalagi kabar kehilangan keluarga #10thnTsunami
Kehilangan sanak saudara, keluarga bahkan orang yang sangat berarti menjadi pukulan tersendiri bagi diri waktu itu #10thnTsunami
Kegelapan menyelimuti malam, tanpa satupun cahaya yang menerangi selama 3 hari lamanya #10thnTsunami
Selama itu saya hanya diam dan Trauma membuat saya sulit tidur krn terus membayang serta takut melihat arus air #10thnTsunami
Sungguh Allah SWT yang Maha Bijaksana, yang punya rencana tersendiri, dan setiap dari itu pasti ada hikmah #10thnTsunami
Semoga para syuhada korban Tsunami di tempatkan disinggasana terbaik yang selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin #10thnTsunami
Sekian kisah saya…. semoga bermanfaat #10thnTsunamipic.twitter.com/3oXbGjSrMl
#10thnTsunami 26 Desember 2004 – 26 Desember 2014 | Aceh terus bangkit untuk menggapai keJAYAan @iloveaceh #WeForJAYA
Saksi hidup peristiwa akbar itu sobat kita sendiri. MaasyaAllah (Chyntia A M, FKM UI 2014)

Near The End of 2014

Setahun yang semoga menjadi salah satu langkah perbaikan diri, yang komprehensif dengan tahun-tahun berikutnya. Terima kasih untuk semua yang telah hadir mengisi cerita di tahun ini. Mungkin hanya sehari, mungkin juga minggu, bulan, bahkan setahun penuh. Apapun itu, tanpa kalian, tahun ini tidak akan sekompleks ini 

Rabu, 17 Desember 2014


Dua Dilema Mahasiswa

Sering mahasiswa dihadapkan pada dua pilihan: organisasi atau akademik. Keduanya dibayang-bayangi oleh selembar transkrip: CV atau IP. Jika fokus di salah satunya, yang kedua akan terabaikan, terbengkalai. Pemilihan arah fokus pun harus dipikir matang-matang. Apa manfaatnya? Apa pengorbanannya? Apa umpan baliknya? Baik. Ketiganya memiliki konsekuensi dan kadar masing-masing. Sudut pandang setiap orang pun mengupas dari sisi yang berbeda-beda.
Sebenarnya apapun pilihannya, kedua pilihan ini sama-sama menyedot perhatian lebih. Karena terlalu banyak jadwal dan hal-hal yang harus dikejar, kemampuan manajemen waktu dan penempatan skala prioritas menjadi kebutuhan mendesak. Waktu yang ada selalu tersedot. Yang dulunya ada waktu untuk menghabiskan 3 jam minum kopi, kini harus menenggak secangkir kopi untuk bertahan 3 jam di waktu malam. Konsentrasi pun begitu. Terkadang ada hal-hal yang sengaja maupun tidak harus skip dari prioritas. Dipandang sinis teman akrab yang berbeda orientasi pun menjadi hal biasa. Dianggap sombong karena sudah jarang untuk bergabung bersama-sama.
Tapi, kembali ke awal. Semua memiliki tujuan, kan?
Apapun pilihannya, semua adalah pilihan baik jika dilandasi dengan niat yang baik. Mengejar IP agar diterima di perusahaan yang menjadi target sasaran dakwah, agar bisa menempati posisi strategis instansi pemegang kebijakan demi mencegah terjadinya mudhorot bagi ummat, itu niat baik. Sibuk organisasi supaya dakwah bisa meluas di kalangan manapun, supaya nilai Islam tetap merasuk ke kegiatan-kegiatan kampus, juga merupakan niat baik. Tidak ada yang salah.
Lalu, apa yang dipermasalahkan?
Yang dipermasalahkan adalah apa yang ada di dalam niat tersebut. Apakah ada Allah? Apakah ada niatan lain semisal predikat “mahasiswa pinter, kece, keren dengan segala prestasi di segala kesibukan”? Apakah teringat surga dan neraka yang menjadi balasan akhir apa yang kita lakukan, termasuk pilihan mengejar akademis dan atau organisasi?
 Ya, apakah ada Allah di lubuk terdalam niat kita. Tingkatan pertama status manusia yang telah bersyahadat adalah muslim. Penanda bahwa kita layak disebut muslim adalah ketika kita telah melaksanakan rukun Islam. Apa hanya itu? Tidak. Muslim adalah julukan bagi orang yang berserah diri, yang hanya ditujukan pada Allah. Bukan berarti tidak berusaha lalu menyerahkan segalanya pada-Nya dengan harapan Dia yang menyelesaikan semuanya. Pasrah di sini lebih kepada memasrahkan segala upaya kita untuk dinilai dan diberi hasil yang terbaik menurut-Nya. Meski mungkin bagi kita tidak sebanding, asalkan itu adalah keputusan Allah, itulah yang terbaik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa poin penting atas kedua hal yang menjadi dilema di atas adalah menjadi ilmuwan atau saintis dan atau organisatoris dengan tidak melupakan identitas diri sebagai muslim. Semoga penulis dan pembaca sama-sama diberi kemudahan untuk berjuang di jalan Allah baik melalui akademik maupun organisasi. Aamiin. 

Kamis, 13 November 2014

Haaritsul Waqtu


-          Orang yang bisa memanajemen waktu dengan baik adalah orang yang memiliki banyak aktivitas. Karena tau teng jam segini mau ngapain, teng  jam segini harus selesei

-          Coba bikin agenda à biar kita tertata, ga langsung nge”iya”in waktu diajak orang tapi ujungnya bilang “loh aku ada ini, harus ini” à biar ga ngerjaan banyak hal dalam satu waktu à skala prioritas àmisal ada 2 rapat bentrok, liat seberapa penting peran kita di dalamnya: apakah bisa diwakilkan atau tidak

-          JANGAN PERNAH MERASA SEMUA AGENDA HARUS KITA YANG MENYELESAIKAN, KARENA ITU ADALAH TUGAS TIM

-          Kalau kita merasa kita yang harus ngerjain, orang lain ga bisa, itu namanya EGOIS à ada orang lain yang bisa mengerjakan

-          Jangan terlalu cepat melabeli orang, harus tahu klarifikasinya à tabayyun

-          Jangan “semua harus saya yang mengerjakan, semua harus selesei hari ini”

-          Seimbang antara akademik dan kontribusi à tawazun

-          Bikin rencana Spesifik Measurable A R Time table

-          Nyicil kegiatan. Kalau deket deadline pasti stres, ngerasa dunia ini ga adil. Padahal kita yang nggak adil ke diri kita sendiri

-          Kerjain apa yang bisa dikerjain sekarang, jangan nunda à bisa merugikan orang lainà termasuk tentang hidayah. Saat hadir, langsung disambut

-          Jaga kesehatan. sakit itu juga menyakiti orang lain

-          Secara ga langsung lingkungan atau sistem di sekitar kita ga mau tau tentang keadaan kita, yang “penting kerjaan loe selesei sekarang”, karena kita secara ga langsung sudah tergabung dalam sistem itu

-          SIAP DENGAN AGENDA TAK TERDUGA

-          Segera kabari kalau ada apa”, biar ga miskomunikasi

-          Dua aspek penting sosial menurut Hasan Al-Banna: KOMUNIKASI dan PERSEPSI


-          JANGAN MELEWATKAN SUBUH, HABISKAN WAKTU DENGAN BELAJAR

Jumat, 17 Oktober 2014

Mahasiswa Berprestasi dan Organisatoris

Mahasiswa identik dengan kegiatan menuntut ilmu disertai dengan berorganisasi. Di antara keduanya, mana yang lebih penting? Keduanya sama-sama penting. Dengan menuntut ilmu, kita akan paham bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan secara lebih baik. Agar dalam melakukan suatu hal kita tidak asal mengerjakan. Dengan ilmu, menghadapi kehidupan bisa dilakukan dengan lebih mudah dan efektif. Melalui kegiatan berorganisasi, kita akan mengerti bagaimana menghadapi masyarakat dan bekerjasama dengan orang lain. Lalu, jika semua mahasiswa dapat dipastikan melakukan kedua hal itu, apa yang membedakan satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya? Jawabannya tak lain adalah prestasi dan kontribusi lebih.
            Prestasi. Dengan mendengar kata itu, yang ada di benak orang-orang adalah sederet piala, piagam, medali, dan sertifikat. Di dunia kampus, yang terkenal adalah gelar mahasiswa berprestasi. Yang membuat gelar itu istimewa, dengan gelar tersebut mahasiswa menjadi lebih mudah didengar. Dengan begitu, aspirasi yang terpendam bisa dihargai, diterima, lalu dipraktikkan. Untuk meraihnya, dibutuhkan kerja keras yaitu meraih IPK tinggi. Namun IPK tinggi tidak akan semudah itu mengantarkan mahasiswa meraih predikat berprestasi jika tidak diiringi dengan sederet keikutsertaan dalam organisasi. Dalam kata lain, gelar ini hanya ditujukan pada aktivis yang membanggakan di segi akademis maupun organisasi.
             Kedua hal ini sangat menunjang kehidupan mahasiswa sebagai manusia dewasa nanti. Namun diakui memang untuk menyeimbangkan keduanya perlu pengaturan waktu yang sangat hebat. Jika tidak, maka yang satu akan menjadi koban yang lainnya. Mementingkan aksi dan kontribusi pada organisasi, bisa membuat IP hancur. Terlalu focus mengejar IP pun akan membuat soft skill tidak terasah karena tidak dikembangkan pada organisasi. Jadi, pada intinya adalah penguasaan waktu. Jika mahasiswa yang dikuasai waktu, hancur lah hidupnya. Semua akan terburu dengan deadline. Satu tugas akan tertumpuk dengan tugas-tugas lainnya. Ujungnya, hanya sedikit yang selesai dan lebih banyak yang terbengkalai atau tidak maksimal.
            Berorganisasi boleh, asalkan yang dipilih sesuai dengan minat dan kemampuan mahasiswa. Kemampuan di sini tidak hanya intelektual dan bakat tetapi juga kondisi fisik. Bagi mereka yang berbadan lebih ringkih dibandingkan kawan seumurannya, akan lebih baik baginya untuk memilih organisasi yang tidak mengharuskan pertemuan dengan frekuensi yang sering karena itu akan menguras tenaga. Ditakutkan, sakit yang akan datang dan membuat semua pekerjaan lebih tidak tersentuh.
            Tidak dapat dipungkiri, meski berusaha menyeimbangkan keduanya, pasti akan ada kecenderungan terhadap salah satunya. Pada intinya, apapun pilihannya, yang dibutuhkan adalah keikhlasan dari hati, menyukai apa yang dikerjakan dengan hati. Jika itu sudah dilakukan, dapat dipastikan hasilnya lebih maksimal. Keduanya sama-sama bisa menjadikan mahasiswa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tinggal seluas dan sebanyak apa yang bisa mahasiswa sumbangkan bagi masyarakat dengan apapun pilihan yang dia ambil saat kuliah.

Bukan Sekadar "Magang" di Kastrat

Ketika seseorang berbicara magang, yang terbayang adalah pekerjaan yang dilakukan tanpa gaji, hanya sebuah persyaratan untuk lolos ujian tertentu. Bila konteks magang yang dimaksud adalah keikutsertaan dalam sebuah organisasi kampus, yang diimajinasikan adalah berorganisasi tanpa jabatan dan hanya sebagai latihan untuk berorganisasi yang sesungguhnya. Pada intinya, magang sering diartikan sebagai “mencoba” sebuah pekerjaan sesuai kondisi aslinya. Mungkin bagi sebagian teman-teman saya definisi kedua adalah benar. Mereka hanya mencoba dan mencari tahu lebih lanjut apa yang dilakukan mereka yang ada di dalam organisasi. Setelah itu, sudah. Selesai. Meski tak dapat dipungkiri juga yang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan magang berjumlah banyak.
Bagiku, magang bukanlah “pura-pura”. Inilah titik awal perjuangan yang akan dimulai. Ibarat perang, magang adalah persiapan senjata, pengenalan medan, penguasaan kelebihan dan kekurangan diri sendiri maupun musuh, sampai penyiasatan strategi. Pada hari H ketika status magang dilepas dan diganti dengan jabatan yang sesungguhnya, di saat yang sama itulah perang dimulai. Maka dapat dipastikan, mereka yang mempersiapkan dengan baik akan lebih siap dan terlatih menghadapi kondisi perang. Sama seperti perang, dalam organisasi juga mengandung banyak musuh yang mewakili berbagai permasalahan baik internal maupun eksternal. Inilah yang harus dihadapi dan dilawan.
Sebagai mahasiswa baru Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, saya diwajibkan magang di organisasi tingkat fakultas. Dari sekian banyak organisasi dan kelembagaan yang tersedia, saya memilih BEM. Sesungguhnya yang saya pilih bukan BEM-nya, melainkan salah satu departemennya, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat). Alasannya banyak. Diawali dari sebuah hadits Nabi yang menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya, kemudian melihat kemampuan berbicara dan menulis yang saya miliki, adanya keinginan untuk bergerak karena bosan berdiam dan menunggu perubahan yang dilakukan orang lain. Selain itu, proses yang secara tidak langsung memaksa saya untuk lebih disiplin.
Jika teman-teman non Kastrat memandang Kastrat sebagai seonggok status yang “wow”, saya sebagai anggota magangers Kastrat biasa saja. Kami sama seperti lainnya, sama-sama bertugas mencapai visi-misi dan tujuan adanya organisasi tersebut. Selain dianggap eksklusif, Kastrat juga dianggap paling serius. Tidak akan ada namanya bercanda atau main-main. Namun pada kenyataannya, di dalam rapat atau pertemuan Kastrat BEM diadakan sesi berbagi kabar dan segala isu maupun informasi baik internal individu maupun eksternal rakyat dan bangsa Indonesia. Di antara magangers dan anggota Kastrat sendiri pun tidak ada kesenjangan senior-junior, yang ada adalah kakak-adik yang sejak awal sama-sama sadar bahwa kami adalah keluarga yang bersama-sama memperjuangkan hak-hak rakyat.
Kastrat memang identik dengan permasalahan bangsa dan demo. Memang kami membahas beberapa isu panas seperti pelantikan presiden RI baru, RUU Pertembakauan, kenaikan BBM, aksesi FCTC, dan biaya pendidikan Universitas Indonesia sendiri, tetapi yang kami lakukan bukan hanya mengkaji. Lalu yang menjadi implementasi dari kajian yang dilakukan bukan hanya demo. Yang kami lakukan adalah aksi. Demo adalah pilihan terakhir ketika semua jalan sudah menolak tuntutan kami. Aksi bisa dalam bentuk negosiasi, penulisan artikel atau jurnal atau media massa yang bisa membentuk atau merubah opini publik, bahkan minimal membuat status di media sosial akan pemberitaan aspirasi rakyat.
Jangan berbicara rakyat jika diri sendiri belum terurus! Banyak ungkapan-ungkapan yang semisal larangan ini. Namun percayalah, saya tidak akan pernah sempurna dalam memperbaiki sendiri. Oleh karenanya, biarkan saya memperbaiki diri sekaligus berusaha mengusahakan perbaikan negeri dengan mengikuti krida dan apel pukul 06.00 pagi seminggu sekali. Bukan untuk menggugurkan kewajiban, melainkan pembentukan kebiasaan dan karakter baik yang selalu dimulai dari pemaksaan keluar dari zona nyaman masing-masing. Inilah yang kami bahas pada krida dan apel pertama magangers Kastrat BEM FKM UI. Inilah yang akan kami dan terutama saya sendiri terapkan mulai hari ini.
Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!


Rabu, 13 Agustus 2014

Hidup adalah perjalanan. Kini perjalananku memasuki tahapan baru. Dan sambutlah, ini aku, Rumaisha Milhan, seorang pejuang Simak UI yang kini menjadi mahasiswi aktif FKM jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia :))