Senin, 14 Desember 2015

Syukur dan Sabar, di Balik Gagal Mengikuti Workshop

Baru tadi malam aku menerima undangan, baru tadi pagi aku mendaftar, baru menjelang siang aku mendapat tiket, dan baru tadi siang pula aku batal berangkat. Hidup memang berubah dengan cepat. Secepat keputusan yang diambil orang lain tadi yang membuatku kini hanya merasakan rasa senang menerima tiket online akomodasi gratis untuk mengikuti workshop di seberang pulau. Sejujurnya bukan karena lokasi pulau yang memang di pulau yang indah dan banyak wisata, namun lebih ke memuaskan rasa penasaran akan ilmu yang dapat kugali di sana. Memang, ilu bisa diperoleh dengan bertanya lebih lanjut ke orang yang pada akhirnya menggantikan posisiku untuk berangkat. Tetapi akan beda jumlah maupun kualitas yang didapat jika dibandingkan dengan mendengarkannya sendiri. 
Baik, lupakan saja keinginanku. Intinya di tulisan ini aku ingin mengatakan bahwa urusan seorang muslim itu sangat indah. Hidupnya hanya dipenuhi oleh dua hal: sabar ketika musibah datang dan syukur kala anugerah yang datang. Sejatinya memang hidup tak pernah terlepas dari cobaan atau ujian dan karunia. Bekal inilah yang kemudian kupegang hingga akhirnya aku benar-benar tidak memiliki hard feeling yang dalam atas kebatalan keberangkatanku. Jika kata temanku padahal ini adalah one step closer menuju apa yang selama ini ingin kulakukan, kemudian gagal begitu saja, maka yakinlah aku memang berpikir demikian. Tetapi kedua pegangan tadi aku genggam, sambal terus percaya bahwa kesempatan lain akan datang. Aku memupuk syukur karena aku bisa focus ke UAS meski tak dapat dipungkiri aka nada sedikit ego untuk hadir di workshop, sembari aku juga menumbuhkan kesabaran atas rejeki yang memang belum menjadi milikku, seperti kata ummiku. Biasanya aku memiliki sedikit firasat buruk jika akan terjadi sesuatu, begitu pun sebaliknya. Namun, sedari kemarin I have no feeling anymore, baik itu buruk maupun baik. Mungkin Allah menjaga aku agar tidak terlalu senang, sehingga tidak terlalu terpuruk ketika rejeki ini hanya numpang lewat di emailku. Ya, begitulah. Syukur dan sabar menurutku bukan dua hal yang muncul di dua hal yang terpisah, melainkan dua hal yang selalu berkombinasi dengan porsi dominan yang menyesuaikan masing-masing keadaan.

Begitulah ceritaku yang gagal pergi workshop dengan alasan yang tidak perlu untuk dijelaskan. Kemudian pertanyaannya, sudahkah kita menerapkan sabar dan syukur di setiap kejadian? Atau hanya ketika situasi tertentu? Dan aku masih belum termasuk golongan orang yang sabar dan pandai beryukur. Astaghfirullah..

Selasa, 08 Desember 2015

Tentang Mimpi (Dokter)

Baru kemarin sore aku keluar dari Auditorium RIK UI setelah kuliah matkul Etika dan Hukum Kesehatan. Topik hari ini adalah Malpraktik Medis dan Pencegahannya. Dosen yang mengajar bernama dr. Soerja Djaja Atmadja dari Dept. Forensik FK UI. Beliau merupakan dokter DNA Forensik pertama di Indonesia. Namun yang ingin kuceritakan bukan tentang beliau atau kisah-kisah di balik malpraktik di Indonesia, melainkan tentang bagaimana biduk-biduk perasaan yang terbangun selama perkuliahan berlangsung. Di auditorium sebesar itu hampir penuh dengan seluruh mahasiswa FKM UI 2014 dan FK UI 2015. Ya, kami mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK) sering dipertemukan dalam beberapa mata kuliah bersama. Tak dapat kututupi bahwa banyak mantan calon mahasiswa kedokteran yang berada dalam satu ruangan dengan mahasiswa kedokteran, termasuk saya. Kami, yang di antaranya ada aku dan kedua teman di sampingku sebisa mungkin mem-puk-puk diri sendiri ketika sang dosen (dokter) berkata,
"Kalian sebagai dokter..."
"Kita para dokter..."
“Sebagai dokter, kalian harus siap menghadapi hal-hal seperti itu.”
Buncah semangat, gelora untuk menjadi dokter terbakar lagi.
Cita-cita yang dulu dikejar seakan hadir kembali. Teringat bayangan orangtua, keluarga besar, teman sekolah, teman pondok, teman les, tetangga yang sering berdoa dan berkata,
"Aku percaya kamu bisa jadi dokter."
Teringat pula tulisan-tulisan di diary dan tempelan-tempelan di tembok kasur berisi rumus-rumus mapel dan istilah-istilah medis serta tulisan,
"Aku dokter."
"Faculty of Medicine, University of ..." (bermacam versi university)
Masih teringat pula air mata yang selalu muncul karena lelah, karena tak mampu menjawab soal tes sendiri dibanding teman-teman lain, karena takut membuat kecewa orangtua, serta datang karena ingin menguatkan diri ketika dipertemukan kegagalan.
Sebesar itulah kekuatan mimpi, segila itu pula mimpi memaksa orang untuk mengejarnya.
Namun, sebisa mungkin kami sadar bahwa pengejaran mimpi telah diputuskan, dialihkan menuju bentuk mimpi yang lain, bertransformasi. Kami saling melihat satu sama lain, tersenyum, dan berkata,
“Allah tahu yang terbaik.”
“…boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 216)
Memang hanya Allah yang menguasai seluruhnya, termasuk takdirku dan kedua temanku yang bahkan gagal di 2 tahun yang berurutan. Se-bagaimana-pun aku merasakan campur aduk setiap berada di kelas yang sama dengan mahasiswa FK, memiliki status sama dengan mereka bukanlah sesuatu yang baik untukku, menurut Allah.
Aku bersyukur, hasil yang kuperoleh tak sepenuhnya mengecewakan. Bahkan aku sangat bersyukur ketika di kampus kuning pada akhirnya aku berlabuh, meski bukan di kedokteran. Padahal tak pernah sedetikpun aku terbesit keinginan untuk kuliah di sini, menulis pun tidak. Tapi Allah memberinya dengan mudah tanpa kuminta, di saat mengejar kampus lain perlu berdoa dan berlari terengah-engah. Aku bersyukur ternyata FKM lebih cocok denganku yang senang bersosial dan berpikir sistem, tepat seperti salah satu alasanku ingin menjadi dokter, yaitu untuk memperbaiki sistem kesehatan Indonesia. Aku juga bersyukur banyak matkul bersama RIK yang membuatku bisa merasakan euforia belajar sebagai mahasiswa kedokteran, tanpa harus berstatus demikian.
Kini aku percaya, ada sesuatu yang disimpan Allah di balik alasan aku tidak diizinkan menjadi dokter. Aku percaya, di balik rahasia pasti ada rahasia. Seperti saat aku harus merelakan diri pergi dari sekolah aksel untuk belajar di pesantren boarding school, yang ternyata membuatku mendapatkan makna hidup. Aku yakin Allah memberikan mimpi itu agar aku mau berdoa dan berjuang keras. Mungkin jika aku tidak mempunyai mimpi aku tidak merasa perlu berjuang. Lagipula sebenarnya, berjuang mendapatkan UI pun tidak bisa se-bercanda itu. Alhamdulillah ‘ala kulli haal.
-- Kepada teman-temanku yang berada di jurusan pendidikan dokter umum, tolong lanjutkan mimpi saya, dua teman saya, dan teman-teman mantan calon (mahasiswa) (ke)dokter(an) yang lain. Belajar dan mengabdi lah dengan tulus, manfaatkan kesempatan yang tidak dapat kami rasakan smile emotikon