Sabtu, 26 Maret 2016

Kedamaian.

Aku merindukan sebuah suasana yang terjadi sekitar 2 sampai 3 tahun yang lalu.
Ketika bukan laptop yang dibawa dan tak sengaja didekap ketika tidur, melainkan Al-Qur’an;
bukan HP yang di dalam genggam di manapun dan kapanpun, tapi Al-Qur’an.
Tak ada kedua benda ini pun, hidup tetap berjalan. Asal masih ada Al-Qur’an.
Yang digalaukan adalah setoran hafalan esok hari, bukan IP(K) yang konon menentukan nasib diri ini.
Saat yang menyibukkan adalah perkara akhirat, dengan tetap mengurus dunia; bukan fokus kepada dunia lalu akhirat dikesampingkan.
Damai. Tenang. Merasa aman. Bahagia.
Aku rindu kedamaian itu, yang “nyes” di hati, meski kepala dibombardir kegalauan masa depan duniawi.
Mungkin satu: Allah yang ada di hati.
Seharusnya memang cukup Allah tempat bertawakkal (re: bersandar), dengan-Nya kau akan tenang karena semua urusanmu akan mudah diatur-Nya.
Lalu, bisakah suasana itu terjadi lagi?
Upayakan saja dari diri sendiri, membangun faktor-faktor pembangkit tenang itu lagi, dan tak usah menjadikan excuse perbedaan tempat dan orang sekitar di masa kini. 

Objek Rindu Libur Panjang Akhir Pekan

Sedang rindu. Ya, gejala ini datang ketika ada tanggal merah yang dekat dengan akhir pekan. Libur panjang akhir pekan nama lainnya.

Pertanyaannya, siapa yang dirindukan?
Banyak.

Pertama, Ummi.

Wanita cantik yang sayangnya cantik dan putihnya tidak menurun ke aku ini mempunyai kesabaran dan ketegaran yang luar biasa. Kalau pun mengeluh, aku yakin itu hanya candaan di balik kekuatan yang mungkin di-backing oleh malaikat yang Allah suruh untuk menguatkan. Banyak ide kreatif yang halus tetapi "ngena" disampaikan padaku yang nakalnya kumat-kumatan. Nggak habis pikir, betapa tinggi sekali tingkat tangguhnya memiliki anak yang konsisten menggores sederet luka ini. Semoga Allah membebaskannya dari hisab atas kekhilafanku :"

Kedua, Abi


Sosok luar biasa ini menyimpan ke-wonderful-an-nya dengan sangat sempurna. Tak ada yang tahu apa yang dilakukan hingga Ummi menceritakannya padaku. Meskipun banyak yang meragukan kemampuannya hanya karena warnanya yang lebih gelap dan warna ini yang menurun kepadaku, tetapi aku yakin mereka yang ragu itu telah salah besar menilai Abiku. Kesabarannya benar-benar tidak berbatas. Mengerti tanpa berbicara. Merupakan orang yang paling tegas masalah agama, pendidikan, dan kehalalan dalam sesuatu. Orang yang setauku bisa benar-benar tegas menolak haram bahkan syubhat atau meragukan itu jarang, dan Abi masuk dari yang jarang itu.

Ketiga, bocil Thursina


Kusebut bocil karena bagaimana pun tinggi dan besarnya badannya, dia tetap adekku, lebih muda dariku. Makhluk satu yang sangat berbeda baik fisik maupun kepribadian denganku ini diam-diam berprestasi. Tidak pernah ambis sepertiku yang harus belajar sampai menangis dulu untuk dapat kursi di bangku kuliah, dia dengan mudah lolos seleksi olimpiade. Padahal saat aku masih di bangku sekolah, lolos seleksi kelas olim saja tidak. Selain itu, hasil fotografi dan sketsanya juga bagus untuk hitungan orang yang iseng membuatnya tanpa kursus atau memang berniat belajar. Meskipun untuk hal-hal tertentu kami sering berantem, tetap tak mengurangi kagumku ke adek yang merasa terhina kalau dipanggil "Dek" ini.

Keempat, bocil Abin


Yang ini benar-benar bocil. Bocah kecil. Padahal gendut. Nggak pernah ambil pusing setiap ada yang menyinggung warnanya, kontras denganku. Anak paling polos yang dengan kepolosannya ia terlindungi dari kontaminasi dunia masa kini. Yang paling nurut, paling pertama dan tepat waktu dalam hal sholat, mandi, dan berangkat les serta makan tentunya. Sangat berbeda dengan kedua kakaknya, terutama kakaknya yang perempuan. Sejak kecil sudah terlihat bakatnya dimana, walau katanya cita-citanya ingin menjadi pilot. Yah, semoga yang terbaik yang datang kepadamu, Dek.

Lalu, rindu yang sedang hadir diapakan?
Didoakan semoga cepat diberi kesempatan bertemu dengan objek yang dirindukan. Salah satunya dengan merencanakan pertemuan itu dan mengusahakannya. Sebab mereka terlalu berharga untuk tidak diperjuangkan~

Minggu, 20 Maret 2016

Upgrading. Up-Grade-Ing

Upgrading. Dari "upgrade", yang berarti perbaikan, peningkatan; dan disampaikan dalam bentuk kata benda. Up, naik. Grade, tingkatan. -ing, tanda bahwa kata tersebut dijadikan kata benda oleh aturan gerund. It means, sebelumnya sudah di tingkat yang baik, hanya saja sedikit ditambahkan sesuatu agar yang sudah baik itu naik tingkat lebih baik lagi.

Mengapa tiba-tiba aku membahas upgrading?

Sebab beberapa minggu lalu aku melakukan that kind of thing. Yap, aku melakukan upgrading dengan teman-teman Kastrat BEM IM FKM UI 2016. Padahal, upgrading kali ini merupakan yang pertama di tahun ini. Tema dan isi yang dibahas juga hal baru nan berbeda dari tahun-tahun atau upgrading-upgrading sebelumnya.

Terus kenapa?

Ya nggak kenapa-kenapa sih ._.
Lagi nggak pengen membahas isi dari upgrading itu~

Cuman pengen bilang aja, setiap dari kita itu spesial. Kita punya modal berupa otak, atau bahasa halusnya akal, sesuatu yang membedakan kita dari makhluk bernyawa yang lain. Jika ada ejekan, sindiran yang mengatakan "Di mana sih otak lu?" "Otaknya udah abis ya?"sebenarnya itu tidak sepenuhnya salah. Sebab memang seharusnya karunia itu digunakan, meski dalam penggunaan otak membuat kepala yang menampung keberadaannya harus merasa berat dan pusing. Tapi itulah tanda otak kita bekerja.

Balik lagi ke upgrading.

Jadi, di dalam upgrading kala itu, kami mengundang Koorbid Sospol kami tercintah. Dia sangat super duper wonderful kece bhadhay luwar biazah, masya Allah. Beliau memberi materi tentang kenaikan biaya kuliah di UI. Rumor itu sedang hangat-panasnya di UI. Mulai dari sejarah, alasan, penyikapan, semuanya dia berikan. Tetapi, tidak akan sama apa yang diserap orang dalam suatu forum dengan orang lain yang berada di forum yang sama. Mereka yang sebelumnya telah terpapar, seminimalnya telah mendengar, lebih bagus lagi jika membaca, akan memahami jauh lebih baik dibanding yang bahkan mendengar saja tidak. Dan sepertinya aku masuk dalam kelompok yang tidak. Aku sedikit membaca tentang isu tersebut. Sedikit berdiskusi. Sedikit tahu.

Nah, yang ingin aku bahas adalah proses upgrading. Di dalam upgrading ada "grade", tingkatan. Untuk aku yang sedikit tahu, berarti dengan upgrading ini, aku naik tingkat ke sedikit lebih tahu. Butuh beberapa kali untuk mencapai tahap kedua tertinggi, yakni memahami. Jika tahap ini sudah dicapai, sudah dapat dipastikan tingkat tertinggi tercapai, yakni menjelaskan kepada orang lain dengan bahasa sederhana. Persis seperti yang dikatakan oleh Einstein tentang understanding something.

Sebagai manusia, sebisa mungkin kita menempatkan diri sendiri ke grade di atas yang seharusnya. Ketika kita tetap berada di grade yang sesuai, sama saja dengan berada di zona nyaman, seperti kata orang. Bagaimana caranya agar kita berada di grade atas? Coba baca ulang judul posting-an ini. Ya itu caranya. Aku percaya, semakin keren orang, semakin banyak proses upgrading yang dia lakukan. Semakin sering otaknya digunakan. Entah dengan membaca, berdiskusi, menulis; jika itu dalam konteks pemahaman pengetahuan dan isu; atau dengan menerima cobaan, ujian, pengalaman; lalu memikirkan hikmah sebagai pembelajaran ke depannya; bila kita membahas kehidupan.

Jadi, gunakan otakmu, isi ulang! Upgrade yourself! Agar teko otak tersebut mengeluarkan air yang bermanfaat bagi kehidupan, bukan debu atau sarang laba-laba yang bahkan harus digetok biar bisa keluar.
Sekian~

Senin, 14 Desember 2015

Syukur dan Sabar, di Balik Gagal Mengikuti Workshop

Baru tadi malam aku menerima undangan, baru tadi pagi aku mendaftar, baru menjelang siang aku mendapat tiket, dan baru tadi siang pula aku batal berangkat. Hidup memang berubah dengan cepat. Secepat keputusan yang diambil orang lain tadi yang membuatku kini hanya merasakan rasa senang menerima tiket online akomodasi gratis untuk mengikuti workshop di seberang pulau. Sejujurnya bukan karena lokasi pulau yang memang di pulau yang indah dan banyak wisata, namun lebih ke memuaskan rasa penasaran akan ilmu yang dapat kugali di sana. Memang, ilu bisa diperoleh dengan bertanya lebih lanjut ke orang yang pada akhirnya menggantikan posisiku untuk berangkat. Tetapi akan beda jumlah maupun kualitas yang didapat jika dibandingkan dengan mendengarkannya sendiri. 
Baik, lupakan saja keinginanku. Intinya di tulisan ini aku ingin mengatakan bahwa urusan seorang muslim itu sangat indah. Hidupnya hanya dipenuhi oleh dua hal: sabar ketika musibah datang dan syukur kala anugerah yang datang. Sejatinya memang hidup tak pernah terlepas dari cobaan atau ujian dan karunia. Bekal inilah yang kemudian kupegang hingga akhirnya aku benar-benar tidak memiliki hard feeling yang dalam atas kebatalan keberangkatanku. Jika kata temanku padahal ini adalah one step closer menuju apa yang selama ini ingin kulakukan, kemudian gagal begitu saja, maka yakinlah aku memang berpikir demikian. Tetapi kedua pegangan tadi aku genggam, sambal terus percaya bahwa kesempatan lain akan datang. Aku memupuk syukur karena aku bisa focus ke UAS meski tak dapat dipungkiri aka nada sedikit ego untuk hadir di workshop, sembari aku juga menumbuhkan kesabaran atas rejeki yang memang belum menjadi milikku, seperti kata ummiku. Biasanya aku memiliki sedikit firasat buruk jika akan terjadi sesuatu, begitu pun sebaliknya. Namun, sedari kemarin I have no feeling anymore, baik itu buruk maupun baik. Mungkin Allah menjaga aku agar tidak terlalu senang, sehingga tidak terlalu terpuruk ketika rejeki ini hanya numpang lewat di emailku. Ya, begitulah. Syukur dan sabar menurutku bukan dua hal yang muncul di dua hal yang terpisah, melainkan dua hal yang selalu berkombinasi dengan porsi dominan yang menyesuaikan masing-masing keadaan.

Begitulah ceritaku yang gagal pergi workshop dengan alasan yang tidak perlu untuk dijelaskan. Kemudian pertanyaannya, sudahkah kita menerapkan sabar dan syukur di setiap kejadian? Atau hanya ketika situasi tertentu? Dan aku masih belum termasuk golongan orang yang sabar dan pandai beryukur. Astaghfirullah..

Selasa, 08 Desember 2015

Tentang Mimpi (Dokter)

Baru kemarin sore aku keluar dari Auditorium RIK UI setelah kuliah matkul Etika dan Hukum Kesehatan. Topik hari ini adalah Malpraktik Medis dan Pencegahannya. Dosen yang mengajar bernama dr. Soerja Djaja Atmadja dari Dept. Forensik FK UI. Beliau merupakan dokter DNA Forensik pertama di Indonesia. Namun yang ingin kuceritakan bukan tentang beliau atau kisah-kisah di balik malpraktik di Indonesia, melainkan tentang bagaimana biduk-biduk perasaan yang terbangun selama perkuliahan berlangsung. Di auditorium sebesar itu hampir penuh dengan seluruh mahasiswa FKM UI 2014 dan FK UI 2015. Ya, kami mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK) sering dipertemukan dalam beberapa mata kuliah bersama. Tak dapat kututupi bahwa banyak mantan calon mahasiswa kedokteran yang berada dalam satu ruangan dengan mahasiswa kedokteran, termasuk saya. Kami, yang di antaranya ada aku dan kedua teman di sampingku sebisa mungkin mem-puk-puk diri sendiri ketika sang dosen (dokter) berkata,
"Kalian sebagai dokter..."
"Kita para dokter..."
“Sebagai dokter, kalian harus siap menghadapi hal-hal seperti itu.”
Buncah semangat, gelora untuk menjadi dokter terbakar lagi.
Cita-cita yang dulu dikejar seakan hadir kembali. Teringat bayangan orangtua, keluarga besar, teman sekolah, teman pondok, teman les, tetangga yang sering berdoa dan berkata,
"Aku percaya kamu bisa jadi dokter."
Teringat pula tulisan-tulisan di diary dan tempelan-tempelan di tembok kasur berisi rumus-rumus mapel dan istilah-istilah medis serta tulisan,
"Aku dokter."
"Faculty of Medicine, University of ..." (bermacam versi university)
Masih teringat pula air mata yang selalu muncul karena lelah, karena tak mampu menjawab soal tes sendiri dibanding teman-teman lain, karena takut membuat kecewa orangtua, serta datang karena ingin menguatkan diri ketika dipertemukan kegagalan.
Sebesar itulah kekuatan mimpi, segila itu pula mimpi memaksa orang untuk mengejarnya.
Namun, sebisa mungkin kami sadar bahwa pengejaran mimpi telah diputuskan, dialihkan menuju bentuk mimpi yang lain, bertransformasi. Kami saling melihat satu sama lain, tersenyum, dan berkata,
“Allah tahu yang terbaik.”
“…boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 216)
Memang hanya Allah yang menguasai seluruhnya, termasuk takdirku dan kedua temanku yang bahkan gagal di 2 tahun yang berurutan. Se-bagaimana-pun aku merasakan campur aduk setiap berada di kelas yang sama dengan mahasiswa FK, memiliki status sama dengan mereka bukanlah sesuatu yang baik untukku, menurut Allah.
Aku bersyukur, hasil yang kuperoleh tak sepenuhnya mengecewakan. Bahkan aku sangat bersyukur ketika di kampus kuning pada akhirnya aku berlabuh, meski bukan di kedokteran. Padahal tak pernah sedetikpun aku terbesit keinginan untuk kuliah di sini, menulis pun tidak. Tapi Allah memberinya dengan mudah tanpa kuminta, di saat mengejar kampus lain perlu berdoa dan berlari terengah-engah. Aku bersyukur ternyata FKM lebih cocok denganku yang senang bersosial dan berpikir sistem, tepat seperti salah satu alasanku ingin menjadi dokter, yaitu untuk memperbaiki sistem kesehatan Indonesia. Aku juga bersyukur banyak matkul bersama RIK yang membuatku bisa merasakan euforia belajar sebagai mahasiswa kedokteran, tanpa harus berstatus demikian.
Kini aku percaya, ada sesuatu yang disimpan Allah di balik alasan aku tidak diizinkan menjadi dokter. Aku percaya, di balik rahasia pasti ada rahasia. Seperti saat aku harus merelakan diri pergi dari sekolah aksel untuk belajar di pesantren boarding school, yang ternyata membuatku mendapatkan makna hidup. Aku yakin Allah memberikan mimpi itu agar aku mau berdoa dan berjuang keras. Mungkin jika aku tidak mempunyai mimpi aku tidak merasa perlu berjuang. Lagipula sebenarnya, berjuang mendapatkan UI pun tidak bisa se-bercanda itu. Alhamdulillah ‘ala kulli haal.
-- Kepada teman-temanku yang berada di jurusan pendidikan dokter umum, tolong lanjutkan mimpi saya, dua teman saya, dan teman-teman mantan calon (mahasiswa) (ke)dokter(an) yang lain. Belajar dan mengabdi lah dengan tulus, manfaatkan kesempatan yang tidak dapat kami rasakan smile emotikon

Jumat, 06 November 2015

Mahasiswa = Susah

"Jadi mahasiswa ya harus susah"
"Oh yawes gapapa. Wong mahasiswa, yo wajar kalo susah"
...
itulah beberapa versi kalimat yang sering dilontarkan ummi setiap kali gue *ceritanya udah jadi warga depok nih ehem* sebagai anaknya yang merantau bercerita (re: mengeluh) tentang lika-liku kehidupan di kampus-kost-dan-sekitarnya. alasannya sederhana: belajar hidup senang hanya cukup sehari, namun belajar hidup susah? butuh bertahun bro.
sedih juga sebenernya melihat teman-teman sekitar pada hedon dan upload2 tralala-trilili menyenangkan *you know lah borju jekardah*, sedangkan gue mau naik ojek aja mikir squint emotikon namun belakangan gue sadar, kuliah itu 1 fase sebelum bener-bener kecemplung in REAL life, yang bakal lebih men-seret-kan isi kantong, dan itu TANPA ada transferan dari orangtua. dan konon kehidupan pasca kampus entah kuliah lagi, kerja, bahkan nikah pun, itu kejam. disuruh susah dulu lah intinya. the big question is, kalo lu ga latian hidup (re: stay strong) untuk memperjuangkan kehidupan yang emang menuntut adanya ke-susah-an (struggle) dari sekarang pas jadi mahasiswa, lu mau latian kapan? padahal lu butuh kesiapan (mental) kalau suatu saat harus menghadapi kondisi hidup susah. kudunya lu bersyukur masih bisa makan tanpa mikir besok harus kerja apa biar tetep bisa makan. coba liat orang yang mau berobat aja ga bisa karena ga punya KTP untuk daftar, wong punya rumah aja kagak (jadi ga bisa nulis domisili di KTP). kesiapan itu ga instan. mie instan aja kudu nyeduh dulu ga bisa langsung dimakan, apalagi mental?
itulah hasil dari perenungan gue di hari-hari panceklik (kebutuhan banyak, duit ga ada) ini. lagipula, ketika lo dituntut melakukan/ membeli/ menghasilkan suatu hal dengan modal seadanya dan lo berhasil, di situlah seninya grin emotikon
--dan sepertinya gua harus membaca tulisan ini sering2 biar ga merasa sebagai orang ter-ngenes sedunia lagi (re: bersyukur)--

Selasa, 03 November 2015

Seperti musim, ujian itu datang bergilir di setiap tempat. Ada yang kedapatan hujan, satunya mendapatkan matahari cerah, di sisi lain seseorang kedatangan topan. Mungkin ini saatnya kamu kegiliran badai, hingga kamu harus menerjangnya lebih dari biasa. Tapi percayalah, badai tak pernah datang tanpa alasan. Bisa jadi ia pertanda, bahwa matahari selanjutnya kan mendatangkan pelangi dan cuaca lebih indah.

Rabu, 28 Oktober 2015

Pengendalian Tembakau Mematikan Petani Tembakau, Benarkah?


Indonesia adalah surga produk hasil tembakau alias rokok bagi industri rokok dan penikmatnya. Hal ini dikarenakan regulasi atau pengendalian tembakau belum cukup kuat diterapkan. Pengendalian tembakau akan membuat petani tembakau menjadi bangkrut, yang kemudian akan menjatuhkan perekonomian Indonesia. Petani tembakau selalu menjadi alasan mengapa pengendalian tembakau tidak boleh ditegakkan. Sebenarnya mana petani yang dimaksud? Petani tembakau digaji lebih rendah daripada upah minimum regional kabupaten/ kota tempat mereka menanam tembakau. Hasil penelitian pada tahun 2008 mengatakan bahwa di Kendal, Jawa Tengah, petani tembakau hanya diberi upah Rp. 15.889,00 per hari atau Rp. 413.374,00 per bulan. Upah tersebut kurang dari separuh upah minimum setempat sebesar Rp. 883.699,00. Kondisi ini terjadi juga di wilayah penghasil tembakau lainnya yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lombok Timur dengan rincian angka yang sedikit berbeda. Pengendalian tembakau ditakutkan akan semakin memperburuk kehidupan petani tembakau. Jika benar petani tembakau harus dilindungi, seharusnya mereka berhak hidup sejahtera dengan upahnya. Sayangnya, upah menyentuh angka minimum saja tidak.
Jumlah petani di tiga provinsi tersebut belum mampu memproduksi tembakau untuk memenuhi kebutuhan industri rokok. Menurut Statistik Perkebunan Indonesia, produksi tembakau Indonesia pada tahun 2007 hanya mencapai 164.851 ton. Angka ini jelas tak memenuhi kebutuhan industri sebesar 220.000 ton, sehingga industri harus mengimpor tembakau yang angkanya terus-menerus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), impor tembakau mencapai $10,09 juta pada Januari-April 2011, atau meningkat 267% dari periode sebelumnya pada Januari-April 2010. Pengendalian tembakau juga dikhawatirkan akan membunuh produksi lokal dengan melegalkan impor dan memberhentikan produksi dalam negeri. Bila benar petani tembakau dilindungi, seharusnya upah mereka ditingkatkan dan atau jumlah mereka ditambah agar produksi menguat, bukan malah mengimpor yang malah akan mematikan produksi lokal.
Memperjuangkan petani tembakau seakan hanya bualan, nyatanya sulit untuk membuat mereka bertahan. Jumlah mereka yang hanya berada di tiga provinsi yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat diagung-agungkan seakan mereka tersebar di ke-34 provinsi di Indonesia. Di ketiga provinsi yang dimaksud pun lahan tembakau tidak mencakup seluruh kabupaten/ kota di dalamnya. Bagaimana bisa jumlah yang sesedikit itu berdampak signifikan terhadap skala nasional Indonesia? Pengendalian tembakau tidak akan mematikan produksi tembakau lokal semerta-merta, ia hanya membatasi peredarannya. Pengendalian tembakau justru membantu petani tembakau dengan mengatur berapa harga yang mereka dapat untuk produksi mereka dan membatasi impor. Seharusnya pemerintah lebih mengaca, hak siapa yang sedang diperjuangkan?

Sumber: Chamim, Mardiyah, Wahyu Dhyatmika, and Farid Gaban. A Giant Pack Of Lies - Bongkar Raksasa Kebohongan Industri Rokok. Jakarta: KOJI Communications bekerja sama dengan TEMPO Institute, 2011. Print.

Jumat, 02 Oktober 2015

Urgensi Soliditas dan Kekuatan Komunal


Manusia adalah makhluk sosial yang butuh hidup berkomunitas. Kegiatan yang dilakukan pun tidak jauh dari bekerjasama atau seminimalnya adalah berhubungan dengan orang lain. Banyak tujuan yang harus dicapai bersama tanpa mengesampingkan tujuan pribadi. Tujuan bersama yang harus dicapai tentunya membutuhkan kekuatan komunal atau kekuatan bersama. Satu orang akan berperan dan membutuhkan peran orang lain. Ibarat mesin mobil, di dalam mesin ada gir-gir yang bekerja berdampingan dan saling menggerakkan. Satu saja yang bergerak tidak sesuai arah atau peran, maka yang lain dapat terhenti atau bertabrakan. Tujuan bersama yang dicapai mesin mobil tersebut untuk membuat mobil bergerak berpindah tempat tak akan tercapai. Di luar system gir tersebut terdapat pelumas yang membantu melancarkan perpindahan gir. Selaras dan sejalan apapun system gir, ketika pelumasnya habis, maka pergerakannya melambat dan malah merusak gir itu sendiri. Bahkan system gir yang bias dianalogikan dengan komunitas atau sekelompok manusia pun mmebutuhkan system atau komponen alias peran pihak lain yang mendukung kegiatannya. Dalam hal kehidupan manusia, system atau komponen tersebut bias berupa kelompok atau komunitas dan orang lain. Usaha yang dilakukan system gir bersama system dan komponen lainnya perlu kekuatan yang sama, semangat yang sama untuk mencapai tujuan, meskipun dengan cara atau peran yang berbeda. Saat kekuatan komunalnya mengendur, pihak di dalam komunitas tersebut harus saling menguatkan agar tidak terjadi ketimpangan antarkomponen dalam system. Sama seperti mobil yang hendak berbelok ke kanan. Saat rem tidak terlalu diinjak, gas masih terinjak kencang, bagaimanapun setir sudah maksimal mengubah arah mobil menjadi berbelok maka mobil tidak akan berbelok dengan sempurna. Menabrak dan menghancurkan mobil sudah mungkin akan terjadi. Di sini rem dan gas tidak bekerja dengan kekuatan yang seimbang sesuai peran, padahal setir sudah berupaya. 
Lalu bagaimana agar semua kekuatan seimbang dalam arti sesuai porsi peran dengan semangat yang sama? Dengan kesolidan, solidaritas. Bahasa lebih gampangnya adalah menyatu. Batu yang padat atau solid akan menggores luka lebih dalam ketika dilemparkan ke manusia disbanding batu apung yang berongga. Batu apung yang butiran-butiran penyusunnya tidak se-“dekat” dan “bersatu” batu kali karena memiliki rongga atau batas antara satu butiran dengan butiran yang lain akan mudah terbawa arus dan tergerus. Ia mudah terombang-ambing di permukaan mengikuti arus, lalu perlahan tergerus, serta tidak bias langsung teguh jatuh dan menetap di dasar sungai seperti batu kali. Untuk bias bersatu, dibutuhkan rasa saling memiliki antarbutiran dan rasa memiliki pada “wadah” batu itu sendiri. Jika sudah saling memiliki, saat yang satu hilang maka yang lain akan mencari untuk mnegajaknya kembali bersatu. “wadah”nya itu sendiri juga tidak akan membiarkan apa yang “ditampung”nya lepas begitu saja. Jika sudah bersatu, merasa dekat, bergerak bersama untuk membentuk kekuatan komunal pun lebih mudah. Bila sudah seperti itu, tujuan komunitas mana yang tidak akan tergapai? 
Indonesia tidak bias segera menjadi Negara maju juga disebabkan belum adanya orang yang bias menggerakkan kekuatan komunal. Orang tersebut maksudnya pemimpin yang memiliki kepemimpinan untuk menggerakkan. Pemimpin tersebut tidak boleh terlalu bersifat dictator atau malah sebaliknya yang terlalu lemah. Kecenderungan pemimpin haruslah mampu mendelegasikan suatu tugas atau amanah kepada orang yang dipimpinnya. Pendelegasian tersebut harus dilandaskan kepercayaan. Jangan sampai lemah atau bahkan ketiadaan kepercayaan itu membuat suatu kepemimpinan menunjukkan adanya one man show sebagai superman, bukan superteam. Padahal one man show mengindikasikan sifat pemimpin tersebut sebagai single fighter. Dalam mencapai tujuan bersama dengan membangun kekuatan komunal, pemimpin tidak boleh menjadi single fighter karena ketidakpercayaan kepada anggota untuk menyelesaikan perintahnya dengan baik. Anggota pun harus mempercayai pemimpin yang membawanya mencapai tujuan bersama. Sebab gir yang berkualitas tidak akan berfungsi maksimal jika ia bagus sendiri, maka ia harus menjadi bagus bersama-sama dengan kekuatan komunal yang mumpuni agar mesin dapat menggerakkan mobil dengan baik. 

Do it with Passion


Manusia terlahir dengan bakat yang berbeda-beda. Tuhan sengaja membuatnya seperti itu agar menjadi keunikan masing-masing individu. Bakat didapat saat pembentukan otak dan pertumbuhan. Bakat bertalian erat dengan kecakapan untuk melakukan sesuatu (Notoatmodjo, 1997). Secara sederhana, bakat juga dapat disebut sebagai suatu potensi bawaan sejak lahir (kemampuan terpendam) yang memungkinkan seseorang memiliki kemampuan atau keterampilan tertentu. Kemampuan ini didapat setelah melalui proses belajar atau berlatih dalam rentang waktu tertentu. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah proses belajar dan melatih bakat. Bukan berarti karena bakat merupakan bawaan sejak lahir kemudian ia tetap memiliki hasil bagus meski tidak dilatih. Untuk mempelajari hal yang merupakan bakat tetap memerlukan waktu yang tidak sedikit, meski tidak dapat dipungkiri bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melatih bakat relatif lebih cepat dibandingkan melatih keterampilan biasa. Misalkan X mudah berteman namun dia tidak bisa matematika. Proses berkenalan yang dilakukan X dipahami lebih cepat oleh X dibandingkan proses belajar matematika. Bukan berarti X tidak berbakat di bidang matematika, melainkan kemampuannya dalam hal tersebut lebih rendah daripada kemampuannya bergaul. Bakat hanyalah kemampuan lebih cepat untuk mempelajari sesuatu, bukan seketika mampu, sehingga memang harus dipancing kemudian dilatih. 
Lalu bagaimana cara mengembangkan bakat? Do it with passion!
Passion adalah gairah, semangat yang menggebu-gebu. Passion didapatkan dengan menjalankan apa yang kita kerjakan dengan hati, menganggapnya sebagai panggilan hati. Pekerjaan atau jabatan bukanlah passion. Kedua hal tersebut hanyalah alat. Yang kita cari adalah kenikmatan dalam proses menjalani pekerjaan kita. Kenikmatan itulah yang disebut passion
Jika passion dianggap sama seperti bakat, sesungguhnya kedua hal ini berbeda namun berkaitan. Passion adalah gairah, sesuatu yang membuat kita enjoy dalam melakukan sesuatu. Ibarat produksi, bakat adalah bahan baku, passion merupakan proses pengolahan, kemudian prestasi atau keberhasilan adalah bahan jadi. Jika bahan baku bagus karena ia merupakan bakat, dengan proses yang biasa saja maka ia akan menjadi barang jadi yang bagus. Bila bahan baku biasa saja namun diproses dengan baik maka hasilnya dapat mengalahkan hasil dari bahan baku yang diproses secara biasa. Apalagi jika bahan baku berkualitas baik dan diproses dengan sangat baik pula maka hasilnya akan melebihi kedua barang jadi lainnya. Bakat memang berbeda antara satu orang dengan lainnya. Kita tidak bisa memilih keunikan tersebut sendiri. Yang dapat dilakukan adalah memberikan proses terbaik atas kemampuan, bakat, potensi yang kita miliki, bagaimanapun kualitasnya. Proses terbaik tersebut diperoleh dari perasaan enjoy dan menikmati proses atas apa yang dilakukan. Suatu hal yang kita enjoy dalam melakukannya memang belum tentu merupakan bakat, tetapi jika enjoy dan juga merasa senang dalam menjalaninya, hasil yang didapat akan baik dan bahkan bisa mengalahkan bakat. Hal ini dapat terjadi pula sebaiknya. Maka, kita sendiri yang menentukan akan memilih hasil yang bagus secara biasa, lebih dari biasa, atau yang luar biasa?
“It is NOT what you are good at. It is about what you enjoy the most!”
Lalu bagaimana cara meningkatkan kualitas proses tersebut? Siapkan hati dan pikiran yang ikhlas dan semangat. Modal ini penting agar passion dapat menggiring kita ke produktivitas dan kreativitas yang lebih lalu membawa kita ke kebermanfaatan yang lebih pula. Ketika kita harus melakukan suatu pekerjaan yang bukan bakat kita, terlebih harus menghabiskan waktu lebih lama dalam mempelajarinya, so just do it with passion! Passion akan membantu keluar dari zona “tersiksa”. Jika tetap merasa “tersiksa”, jangan menyerah untuk mencari passion yang tepat karena ia terkadang tak datang begitu saja. Untuk hal yang (terlanjur) dijalani, berusaha survive adalah kewajiban. Mencari passion dilakukan dengan tetap menjadi diri sendiri dan mencintai serta menikmati apa yang memang kita senang melakukannya. Percayalah, setiap orang terlahir unik dan keunikan itu pula yang menjadi passion kita. Jangan biarkan passion terhalang hanya karena rasa takut untuk gagal atau mendengar pendapat orang lain. Live it with passion!