Rabu, 28 Oktober 2015

Pengendalian Tembakau Mematikan Petani Tembakau, Benarkah?


Indonesia adalah surga produk hasil tembakau alias rokok bagi industri rokok dan penikmatnya. Hal ini dikarenakan regulasi atau pengendalian tembakau belum cukup kuat diterapkan. Pengendalian tembakau akan membuat petani tembakau menjadi bangkrut, yang kemudian akan menjatuhkan perekonomian Indonesia. Petani tembakau selalu menjadi alasan mengapa pengendalian tembakau tidak boleh ditegakkan. Sebenarnya mana petani yang dimaksud? Petani tembakau digaji lebih rendah daripada upah minimum regional kabupaten/ kota tempat mereka menanam tembakau. Hasil penelitian pada tahun 2008 mengatakan bahwa di Kendal, Jawa Tengah, petani tembakau hanya diberi upah Rp. 15.889,00 per hari atau Rp. 413.374,00 per bulan. Upah tersebut kurang dari separuh upah minimum setempat sebesar Rp. 883.699,00. Kondisi ini terjadi juga di wilayah penghasil tembakau lainnya yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lombok Timur dengan rincian angka yang sedikit berbeda. Pengendalian tembakau ditakutkan akan semakin memperburuk kehidupan petani tembakau. Jika benar petani tembakau harus dilindungi, seharusnya mereka berhak hidup sejahtera dengan upahnya. Sayangnya, upah menyentuh angka minimum saja tidak.
Jumlah petani di tiga provinsi tersebut belum mampu memproduksi tembakau untuk memenuhi kebutuhan industri rokok. Menurut Statistik Perkebunan Indonesia, produksi tembakau Indonesia pada tahun 2007 hanya mencapai 164.851 ton. Angka ini jelas tak memenuhi kebutuhan industri sebesar 220.000 ton, sehingga industri harus mengimpor tembakau yang angkanya terus-menerus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), impor tembakau mencapai $10,09 juta pada Januari-April 2011, atau meningkat 267% dari periode sebelumnya pada Januari-April 2010. Pengendalian tembakau juga dikhawatirkan akan membunuh produksi lokal dengan melegalkan impor dan memberhentikan produksi dalam negeri. Bila benar petani tembakau dilindungi, seharusnya upah mereka ditingkatkan dan atau jumlah mereka ditambah agar produksi menguat, bukan malah mengimpor yang malah akan mematikan produksi lokal.
Memperjuangkan petani tembakau seakan hanya bualan, nyatanya sulit untuk membuat mereka bertahan. Jumlah mereka yang hanya berada di tiga provinsi yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat diagung-agungkan seakan mereka tersebar di ke-34 provinsi di Indonesia. Di ketiga provinsi yang dimaksud pun lahan tembakau tidak mencakup seluruh kabupaten/ kota di dalamnya. Bagaimana bisa jumlah yang sesedikit itu berdampak signifikan terhadap skala nasional Indonesia? Pengendalian tembakau tidak akan mematikan produksi tembakau lokal semerta-merta, ia hanya membatasi peredarannya. Pengendalian tembakau justru membantu petani tembakau dengan mengatur berapa harga yang mereka dapat untuk produksi mereka dan membatasi impor. Seharusnya pemerintah lebih mengaca, hak siapa yang sedang diperjuangkan?

Sumber: Chamim, Mardiyah, Wahyu Dhyatmika, and Farid Gaban. A Giant Pack Of Lies - Bongkar Raksasa Kebohongan Industri Rokok. Jakarta: KOJI Communications bekerja sama dengan TEMPO Institute, 2011. Print.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar