Selasa, 08 Desember 2015

Tentang Mimpi (Dokter)

Baru kemarin sore aku keluar dari Auditorium RIK UI setelah kuliah matkul Etika dan Hukum Kesehatan. Topik hari ini adalah Malpraktik Medis dan Pencegahannya. Dosen yang mengajar bernama dr. Soerja Djaja Atmadja dari Dept. Forensik FK UI. Beliau merupakan dokter DNA Forensik pertama di Indonesia. Namun yang ingin kuceritakan bukan tentang beliau atau kisah-kisah di balik malpraktik di Indonesia, melainkan tentang bagaimana biduk-biduk perasaan yang terbangun selama perkuliahan berlangsung. Di auditorium sebesar itu hampir penuh dengan seluruh mahasiswa FKM UI 2014 dan FK UI 2015. Ya, kami mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK) sering dipertemukan dalam beberapa mata kuliah bersama. Tak dapat kututupi bahwa banyak mantan calon mahasiswa kedokteran yang berada dalam satu ruangan dengan mahasiswa kedokteran, termasuk saya. Kami, yang di antaranya ada aku dan kedua teman di sampingku sebisa mungkin mem-puk-puk diri sendiri ketika sang dosen (dokter) berkata,
"Kalian sebagai dokter..."
"Kita para dokter..."
“Sebagai dokter, kalian harus siap menghadapi hal-hal seperti itu.”
Buncah semangat, gelora untuk menjadi dokter terbakar lagi.
Cita-cita yang dulu dikejar seakan hadir kembali. Teringat bayangan orangtua, keluarga besar, teman sekolah, teman pondok, teman les, tetangga yang sering berdoa dan berkata,
"Aku percaya kamu bisa jadi dokter."
Teringat pula tulisan-tulisan di diary dan tempelan-tempelan di tembok kasur berisi rumus-rumus mapel dan istilah-istilah medis serta tulisan,
"Aku dokter."
"Faculty of Medicine, University of ..." (bermacam versi university)
Masih teringat pula air mata yang selalu muncul karena lelah, karena tak mampu menjawab soal tes sendiri dibanding teman-teman lain, karena takut membuat kecewa orangtua, serta datang karena ingin menguatkan diri ketika dipertemukan kegagalan.
Sebesar itulah kekuatan mimpi, segila itu pula mimpi memaksa orang untuk mengejarnya.
Namun, sebisa mungkin kami sadar bahwa pengejaran mimpi telah diputuskan, dialihkan menuju bentuk mimpi yang lain, bertransformasi. Kami saling melihat satu sama lain, tersenyum, dan berkata,
“Allah tahu yang terbaik.”
“…boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 216)
Memang hanya Allah yang menguasai seluruhnya, termasuk takdirku dan kedua temanku yang bahkan gagal di 2 tahun yang berurutan. Se-bagaimana-pun aku merasakan campur aduk setiap berada di kelas yang sama dengan mahasiswa FK, memiliki status sama dengan mereka bukanlah sesuatu yang baik untukku, menurut Allah.
Aku bersyukur, hasil yang kuperoleh tak sepenuhnya mengecewakan. Bahkan aku sangat bersyukur ketika di kampus kuning pada akhirnya aku berlabuh, meski bukan di kedokteran. Padahal tak pernah sedetikpun aku terbesit keinginan untuk kuliah di sini, menulis pun tidak. Tapi Allah memberinya dengan mudah tanpa kuminta, di saat mengejar kampus lain perlu berdoa dan berlari terengah-engah. Aku bersyukur ternyata FKM lebih cocok denganku yang senang bersosial dan berpikir sistem, tepat seperti salah satu alasanku ingin menjadi dokter, yaitu untuk memperbaiki sistem kesehatan Indonesia. Aku juga bersyukur banyak matkul bersama RIK yang membuatku bisa merasakan euforia belajar sebagai mahasiswa kedokteran, tanpa harus berstatus demikian.
Kini aku percaya, ada sesuatu yang disimpan Allah di balik alasan aku tidak diizinkan menjadi dokter. Aku percaya, di balik rahasia pasti ada rahasia. Seperti saat aku harus merelakan diri pergi dari sekolah aksel untuk belajar di pesantren boarding school, yang ternyata membuatku mendapatkan makna hidup. Aku yakin Allah memberikan mimpi itu agar aku mau berdoa dan berjuang keras. Mungkin jika aku tidak mempunyai mimpi aku tidak merasa perlu berjuang. Lagipula sebenarnya, berjuang mendapatkan UI pun tidak bisa se-bercanda itu. Alhamdulillah ‘ala kulli haal.
-- Kepada teman-temanku yang berada di jurusan pendidikan dokter umum, tolong lanjutkan mimpi saya, dua teman saya, dan teman-teman mantan calon (mahasiswa) (ke)dokter(an) yang lain. Belajar dan mengabdi lah dengan tulus, manfaatkan kesempatan yang tidak dapat kami rasakan smile emotikon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar