Sering mahasiswa dihadapkan pada dua
pilihan: organisasi atau akademik. Keduanya dibayang-bayangi oleh selembar
transkrip: CV atau IP. Jika fokus di salah satunya, yang kedua akan terabaikan,
terbengkalai. Pemilihan arah fokus pun harus dipikir matang-matang. Apa
manfaatnya? Apa pengorbanannya? Apa umpan baliknya? Baik. Ketiganya memiliki
konsekuensi dan kadar masing-masing. Sudut pandang setiap orang pun mengupas
dari sisi yang berbeda-beda.
Sebenarnya apapun pilihannya, kedua pilihan
ini sama-sama menyedot perhatian lebih. Karena terlalu banyak jadwal dan
hal-hal yang harus dikejar, kemampuan manajemen waktu dan penempatan skala
prioritas menjadi kebutuhan mendesak. Waktu yang ada selalu tersedot. Yang
dulunya ada waktu untuk menghabiskan 3 jam minum kopi, kini harus menenggak
secangkir kopi untuk bertahan 3 jam di waktu malam. Konsentrasi pun begitu.
Terkadang ada hal-hal yang sengaja maupun tidak harus skip dari
prioritas. Dipandang sinis teman akrab yang berbeda orientasi pun menjadi hal
biasa. Dianggap sombong karena sudah jarang untuk bergabung bersama-sama.
Tapi, kembali ke awal. Semua memiliki
tujuan, kan?
Apapun pilihannya, semua adalah pilihan
baik jika dilandasi dengan niat yang baik. Mengejar IP agar diterima di
perusahaan yang menjadi target sasaran dakwah, agar bisa menempati posisi
strategis instansi pemegang kebijakan demi mencegah terjadinya mudhorot bagi
ummat, itu niat baik. Sibuk organisasi supaya dakwah bisa meluas di kalangan
manapun, supaya nilai Islam tetap merasuk ke kegiatan-kegiatan kampus, juga
merupakan niat baik. Tidak ada yang salah.
Lalu, apa yang dipermasalahkan?
Yang dipermasalahkan adalah apa yang ada di
dalam niat tersebut. Apakah ada Allah? Apakah ada niatan lain semisal predikat
“mahasiswa pinter, kece, keren dengan segala prestasi di segala kesibukan”?
Apakah teringat surga dan neraka yang menjadi balasan akhir apa yang kita
lakukan, termasuk pilihan mengejar akademis dan atau organisasi?
Ya,
apakah ada Allah di lubuk terdalam niat kita. Tingkatan pertama status manusia
yang telah bersyahadat adalah muslim. Penanda bahwa kita layak disebut muslim
adalah ketika kita telah melaksanakan rukun Islam. Apa hanya itu? Tidak. Muslim
adalah julukan bagi orang yang berserah diri, yang hanya ditujukan pada Allah.
Bukan berarti tidak berusaha lalu menyerahkan segalanya pada-Nya dengan harapan
Dia yang menyelesaikan semuanya. Pasrah di sini lebih kepada memasrahkan segala
upaya kita untuk dinilai dan diberi hasil yang terbaik menurut-Nya. Meski
mungkin bagi kita tidak sebanding, asalkan itu adalah keputusan Allah, itulah
yang terbaik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa poin
penting atas kedua hal yang menjadi dilema di atas adalah menjadi ilmuwan atau
saintis dan atau organisatoris dengan tidak melupakan identitas diri sebagai
muslim. Semoga penulis dan pembaca sama-sama diberi kemudahan untuk berjuang di
jalan Allah baik melalui akademik maupun organisasi. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar