Jam 9 tepat mobilku masih ngambek. Ah, nggak peduli! Yang penting aku punya kegiatan buat ngisi hari yang sepi karena orang-orang Hindu pada Nyepi ini. Pada jam ini, aku dan Putra menunggu Shodik yang lama banget nongolnya. Hadehh, nih cowok ngapain sih? Lama banget. Dandan kali ye?! Haha. Abiku yang melihat aku membawa sjumlah buku dan kertas try out heran. Aku memberi tahunya bahwa aku akan belajar kelompok. Kemudian aku dan dua cowok jangkung ini berjalan menuju kediaman Pyta. Aku ngerasa minder dengan tinggiku yang kurang dari 160cm ini kalau lagi jalan ama orang tinggi! Keliatan kayak liliput lagi jalan ama raksasa. Lalu selama beberapa menit kami menunggu. Kedua teman lelakiku bergantian diam-diam memotret satu sama lain dengan aku yang menjadi obyek penderitanya. Melaaaas, melasz! --" Hey, kalian itu kurang kerjaan atau gimana sih? Biasa ae po.o! Kita kan friend.
Tak lama kemudian si Pyta dateng dan kami pun ribet ngomongin salah satu soal matematika. "Kami" di sini adalah aku, Putra, dan Pyta. Si Shodik mah, sibuk ngurusi hapenya. Biasaa, kalo udah punya cewek seringnya lupa ama temen! Aku dan Pyta yang sama-sama nggak connect dengan cara mengerjakan soal itu serius mendengarkan penjelasan Putra yang nalarnya kuat. Setelah paham, kami berlanjut ke soal lainnya. Kami bertiga sama-sama bingung hingga akhirnya ayah si empunya rumah datang. Nggak sampe 5 menit soal itu sudah ketemu jawabannya. Duh Pytaaa, kamu punya ayah yang guru matematika kok malah nggak dimanfaatin sih? Aku aja pengen diajarin ama ayah sendiri. Yaa walaupun dalam urusan teknik kimia abiku bisa, tapi yang aku butuhkan kan pengajaran matematikaa! >,<
Baru beberapa soal terlewat, kami udah merasa bosan. Back to the habbit, yaitu .. memotret diam-diam! Dan yang kembali menjadi korban adalah saya sendiri! Astagaaa, nggak ada habis-habisnya sih 2 cowok ini bikin aku manyun! Kekesalanku sejenak pudar ketika Pyta mengajak 2 cowok usil ini pingpong. Aku dan Pyta emang nggak pernah ngerasain main pingpong. Makanya aku mau aja kalau mereka bersedia ngajarin.
Peluh 2 pemuda SMP ini jatuh ketika mereka ngos-ngosan ngangkat papan pingpong. Habis berat banget! Aku dan Pyta yang cewek hanya kebagian ngangkat penyangganya aja. Nggak lama kemudian bola pingpong bolak-balik jatuh kesana-kemari. Dan sebagai hadiahnya, saya dan Putra saja yang bertugas memungut kedua bola itu. Shodik yang menjadi coacheku dan Pyta yang ada di sebelahnya malah asyik meng-sms pacarnya masing-masing. Hey! Nggak adil banget sih kalian! Kalau aku sendiri sih sebenernya nggak masalah kalau disuruh jalan-jalan ngambil bola. Kan sama dokter aku disuruh untuk banyak berjalan biar nggak pincang. Yaweslah, alhamdulillah. Permainan berlanjut. Aku dan Shodik yang sama-sama gemar badminton justru memainkan si bundar kuning layaknya bulutangkis. Kami lempar dan pukul ke atas hingga si bola sama sekali nggak nyentuh papan meja. Ckck. Saat permainan mulai membuat penat, awan pun menangis. Walaupun nggak deras, tapi guyuran air itu cukup membuat Shodik dan Putra kewalahan mengusung papan pingpong kembali ke tempatnya. Ketika kami berempat berteduh di rumah Laila, langit menghentikan tangisnya. Hwalaaahhh?!
Nggak lama setelah kami sebal gara-gara hujan, terdengar mobilku telah berhasil distarter. Abiku segera menyuruhku pulang untuk berangkat ke Malang. Dan aku pun pulang meski hati agak bimbang.
Dari kisah di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa di balik suatu masalah pasti tersimpan sebuah rencana yang indah. Mobilku yang sejenak mogok ternyata mengantarku pada pembelajaran tenis meja dan penyelesaian sebuah soal njelimet matematika. Coba kalau aku marah, bisakah aku mendapatkan pengalaman seru itu? :)
Jombang, 5 Maret 2011
Rumaisha Milhan
bener khan, setiap kejadian ad hikmahnya.
BalasHapuscba km brgkt dluan, ga bkal ada postingan ini.......