Indonesia adalah surga produk hasil
tembakau alias rokok bagi industri rokok dan penikmatnya. Hal ini dikarenakan regulasi
atau pengendalian tembakau belum cukup kuat diterapkan. Pengendalian tembakau
akan membuat petani tembakau menjadi bangkrut, yang kemudian akan menjatuhkan
perekonomian Indonesia. Petani tembakau selalu menjadi alasan mengapa
pengendalian tembakau tidak boleh ditegakkan. Sebenarnya mana petani yang
dimaksud? Petani tembakau digaji lebih rendah daripada upah minimum regional
kabupaten/ kota tempat mereka menanam tembakau. Hasil penelitian pada tahun
2008 mengatakan bahwa di Kendal, Jawa Tengah, petani tembakau hanya diberi upah
Rp. 15.889,00 per hari atau Rp. 413.374,00 per bulan. Upah tersebut kurang dari
separuh upah minimum setempat sebesar Rp. 883.699,00. Kondisi ini terjadi juga
di wilayah penghasil tembakau lainnya yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lombok
Timur dengan rincian angka yang sedikit berbeda. Pengendalian tembakau
ditakutkan akan semakin memperburuk kehidupan petani tembakau. Jika benar
petani tembakau harus dilindungi, seharusnya mereka berhak hidup sejahtera
dengan upahnya. Sayangnya, upah menyentuh angka minimum saja tidak.
Jumlah petani di tiga provinsi
tersebut belum mampu memproduksi tembakau untuk memenuhi kebutuhan industri rokok.
Menurut Statistik Perkebunan Indonesia, produksi tembakau Indonesia pada tahun
2007 hanya mencapai 164.851 ton. Angka ini jelas tak memenuhi kebutuhan industri
sebesar 220.000 ton, sehingga industri harus mengimpor tembakau yang angkanya
terus-menerus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Badan Pusat Statistik
(BPS), impor tembakau mencapai $10,09 juta pada Januari-April 2011, atau meningkat
267% dari periode sebelumnya pada Januari-April 2010. Pengendalian tembakau
juga dikhawatirkan akan membunuh produksi lokal dengan melegalkan impor dan
memberhentikan produksi dalam negeri. Bila benar petani tembakau dilindungi,
seharusnya upah mereka ditingkatkan dan atau jumlah mereka ditambah agar
produksi menguat, bukan malah mengimpor yang malah akan mematikan produksi lokal.
Memperjuangkan petani tembakau seakan
hanya bualan, nyatanya sulit untuk membuat mereka bertahan. Jumlah mereka yang
hanya berada di tiga provinsi yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara
Barat diagung-agungkan seakan mereka tersebar di ke-34 provinsi di Indonesia. Di
ketiga provinsi yang dimaksud pun lahan tembakau tidak mencakup seluruh
kabupaten/ kota di dalamnya. Bagaimana bisa jumlah yang sesedikit itu berdampak
signifikan terhadap skala nasional Indonesia? Pengendalian tembakau tidak akan
mematikan produksi tembakau lokal semerta-merta, ia hanya membatasi
peredarannya. Pengendalian tembakau justru membantu petani tembakau dengan
mengatur berapa harga yang mereka dapat untuk produksi mereka dan membatasi
impor. Seharusnya pemerintah lebih mengaca, hak siapa yang sedang
diperjuangkan?
Sumber: Chamim,
Mardiyah, Wahyu Dhyatmika, and Farid Gaban. A Giant Pack Of Lies -
Bongkar Raksasa Kebohongan Industri Rokok. Jakarta: KOJI Communications bekerja sama
dengan TEMPO Institute, 2011. Print.