Mahasiswa identik dengan kegiatan menuntut ilmu disertai dengan berorganisasi. Di antara keduanya, mana yang lebih penting? Keduanya sama-sama penting. Dengan menuntut ilmu, kita akan paham bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan secara lebih baik. Agar dalam melakukan suatu hal kita tidak asal mengerjakan. Dengan ilmu, menghadapi kehidupan bisa dilakukan dengan lebih mudah dan efektif. Melalui kegiatan berorganisasi, kita akan mengerti bagaimana menghadapi masyarakat dan bekerjasama dengan orang lain. Lalu, jika semua mahasiswa dapat dipastikan melakukan kedua hal itu, apa yang membedakan satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya? Jawabannya tak lain adalah prestasi dan kontribusi lebih.
Prestasi. Dengan mendengar kata itu, yang ada di benak orang-orang adalah sederet piala, piagam, medali, dan sertifikat. Di dunia kampus, yang terkenal adalah gelar mahasiswa berprestasi. Yang membuat gelar itu istimewa, dengan gelar tersebut mahasiswa menjadi lebih mudah didengar. Dengan begitu, aspirasi yang terpendam bisa dihargai, diterima, lalu dipraktikkan. Untuk meraihnya, dibutuhkan kerja keras yaitu meraih IPK tinggi. Namun IPK tinggi tidak akan semudah itu mengantarkan mahasiswa meraih predikat berprestasi jika tidak diiringi dengan sederet keikutsertaan dalam organisasi. Dalam kata lain, gelar ini hanya ditujukan pada aktivis yang membanggakan di segi akademis maupun organisasi.
Kedua hal ini sangat menunjang kehidupan mahasiswa sebagai manusia dewasa nanti. Namun diakui memang untuk menyeimbangkan keduanya perlu pengaturan waktu yang sangat hebat. Jika tidak, maka yang satu akan menjadi koban yang lainnya. Mementingkan aksi dan kontribusi pada organisasi, bisa membuat IP hancur. Terlalu focus mengejar IP pun akan membuat soft skill tidak terasah karena tidak dikembangkan pada organisasi. Jadi, pada intinya adalah penguasaan waktu. Jika mahasiswa yang dikuasai waktu, hancur lah hidupnya. Semua akan terburu dengan deadline. Satu tugas akan tertumpuk dengan tugas-tugas lainnya. Ujungnya, hanya sedikit yang selesai dan lebih banyak yang terbengkalai atau tidak maksimal.
Berorganisasi boleh, asalkan yang dipilih sesuai dengan minat dan kemampuan mahasiswa. Kemampuan di sini tidak hanya intelektual dan bakat tetapi juga kondisi fisik. Bagi mereka yang berbadan lebih ringkih dibandingkan kawan seumurannya, akan lebih baik baginya untuk memilih organisasi yang tidak mengharuskan pertemuan dengan frekuensi yang sering karena itu akan menguras tenaga. Ditakutkan, sakit yang akan datang dan membuat semua pekerjaan lebih tidak tersentuh.
Tidak dapat dipungkiri, meski berusaha menyeimbangkan keduanya, pasti akan ada kecenderungan terhadap salah satunya. Pada intinya, apapun pilihannya, yang dibutuhkan adalah keikhlasan dari hati, menyukai apa yang dikerjakan dengan hati. Jika itu sudah dilakukan, dapat dipastikan hasilnya lebih maksimal. Keduanya sama-sama bisa menjadikan mahasiswa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Tinggal seluas dan sebanyak apa yang bisa mahasiswa sumbangkan bagi masyarakat dengan apapun pilihan yang dia ambil saat kuliah.