Senin, 26 September 2011

Karena Mereka

Hari ini, aku menangis. Lebih karena sedih meninggalkan kawan, bukan karena kepindahanku. Aku tak apa bila harus bersekolah di sana, tapi aku berang karena harus meninggalkan teman-temanku. Mereka memang tak menentukan masa depanku dan belum tentu ada di masa depanku, tapi merekalah yang menyiapkanku tuk menghadapi masa depan dengan tegar. Karena mereka yang menerimaku apa adanya, yang tak pernah melihat kondisi fisikku yang dulu selalu dipandang jelek karena kulitku gelap. Mereka tak pernah membandingkan warna kulitku dengan siapapun, bahkan dengan kulit mereka sendiri. Mereka tak peduli betapa pendek dan hitamnya aku.
Itulah yang membuatku bersyukur, setelah di jenjang awalku selalu tersiksa karena olokan tentang kulitku. Labelnya “Islam” memang, tapi bukan the real Islam yang mereka punya. Aku teraniaya karena tak pernah dihargai meski aku meraih sesuatu yang membanggakan dengan frekuensi lumayan sering. Menyapu, menata meja, membersihkan kelas, kulakukan sendiri saat yang lain terbahak di luar kelas. Aku memang sabar, tapi sebenarnya aku menderita. Bukannya aku membeberkan aib, tapi aku hanya mengungkapkan apa yang terpendam di hatiku sekian lama.
Di jenjang berikutnya aku berusaha berubah, mencari diriku yang sebenarnya. Aku menjadi seseorang yang heboh, yang akrab dengan siapa saja, dan tak menjadi pendiam seperti yang dulu. Tapi tetap saja masih ada yang meributkan warna kulitku. Dan 3 tahun ku tempuh tanpa adanya teman yang benar-benar dekat.
Di tingkat yang sekarang, aku menemukan yang kucari, yang benar-benar tak peduli tentang bagaimana dan siapa aku. Susah-senang bersama, tertawa-menangis berjamaah, mengeluh-berteriak juga tetap bersama. Aku yang sejak dulu ingin mencurahkan isi hatiku namun tak pernah bisa karena keadaan, perlahan bisa tersenyum karena tanpa kuminta mereka ada untukku. Berjam-jam kuceritakan masa laluku yang suram dengan suara serak dan mata terisak, tapi tak sedikitpun terdengar keluhan dari mereka atas panjangnya kisahku. Berbagai saran dan doa kuterima. Aku bersyukur bertemu dengan mereka. Mengapa tak sejak dulu saja aku mempunyai tempat untuk berbagi cerita padahal aku sangat membutuhkannya? Sejak kecil tak pernah kuberitakan isi hatiku pada siapapun termasuk orang terdekatku yang ada di rumah. Untuk itu aku menyesal karena hingga saat ini aku belum bisa menaruh kepercayaan atas terjaganya kerahasiaan ceritaku pada keluargaku sendiri.
Tak hanya masalah pribadi, masalah bersama juga kami hadapi bersama. Mulai dari KKM yang terlalu tinggi (setidaknya menurut kami), fasilitas sekolah yang kadang mengalami gangguan, ejekan dan sindiran dari warga lainnya, dan sebagainya. Aku tak mengerti mengapa aku bisa begitu lama memahami langkah-langkah mengerjakan soal logaritma, tapi aku lebih tak mengerti mengapa aku bisa segera paham setelah teman-temanku memberiku penjelasan tentang caranya dengan begitu sabar meski aku terkadang mencereweti mereka.
Tak hanya matematika, kami pun berbagi tentang ilmu pasti lainnya. Meski lemah dalam hal berbau sosial, kami berusaha mengatasinya dengan diskusi kelas. Di sini, perempuan dan laki-laki tak ada bedanya. Semua sama-sama berjuang dengan menyatukan segala perbedaan dengan kemampuan yang ada. Meski memiliki bahan baku otak yang lumayan, tapi kami tetap manusia biasa yang saling melengkapi. Urusan komputer dan desain grafis ada yang menanganinya, urusan konsumsi pun tersedia, urusan seni juga ada ahlinya, bagaikan toserba yang memang serba ada.
Aku ingat ketika aku menangis, ada yang ikut menangis, beberapa menghiburku dengan lelucon, dan lainnya setia mendengarkan apa mauku. Tak hanya aku, pada yang lain pun perlakuan tetaplah sama. Baru 3 bulan memang aku bersama mereka, tapi mereka seperti kekuatanku, yang membuatku bangkit, tak bersedih, tetap tersenyum meski susah, dan tegar menghadapi ini semua. Aku tak pernah mendapatkan itu semua di tingkat sebelumnya yang kuhabiskan selama 6 tahun dan 3 tahun meski aku berusaha keras untuk mencapainya. Aku bisa cepat tertawa, meski hanya dengan beberapa patah kata, asalkan itu mereka yang melontarkan.
Entah apa yang membuatku begini, tapi satu yang pasti, aku tak ingin berpisah dengan mereka, bagaimanapun caranya. Aku tahu aku harus menerima keadaan dan memandang ke depan, tapi ini sungguh berat, karena baru kali ini aku merasakan rasanya dihargai dengan mudahnya. Sejak dulu aku ingin perhatian, kasih sayang, dan waktu untukku, dan itu semua baru aku dapatkan ketika mengenal mereka karena selama ini aku merasa belum meraihnya. Tapi sayang mengapa harus secepat ini berpisah? Aku tak tahu apakah di tempatku yang baru kan kutemukan yang semacam ini, yang membuatku mengerti arti hidup dalam kebersamaan di atas perbedaan. Aku memang tak boleh negative thinking, tapi aku punya rasa takut yang mendalam tentang traumaku atas masa laluku. Memang aku cepat beradaptasi, tapi aku susah menjalin keakraban yang diiringi kekonyolan. Mungkin aku tak akan bisa cepat tersenyum seperti tadi saat ku menjatuhkan airmata, kalau bukan karena mereka, teman sekelasku di kala SMA. I almost cannot smile without them. I love and need you most, 5th Acceleration of SMAN 3 Jombang.